Gambar Sampul Bahasa Indonesia · j_BAB 10 CERPEN
Bahasa Indonesia · j_BAB 10 CERPEN
EuisSulastri, dkk

24/08/2021 13:14:33

SMA 11 KTSP

Lihat Katalog Lainnya
Halaman

117

Bab 10 Cerpen

Paska doc.

Buku kumpuan cerpen

Dilarang Menyanyi

di Kamar Mandi

karya Seno Gumira

Ajidarma,

Filosofi Kopi

karya Dewi Lestari,

dan

Cerita Pendek tentang Cerita Cinta

Pendek

, karya Djenar Maesa Ayu.

Cerpen tidak hanya Anda jumpai di

majalah atau surat kabar. Kini banyak kita

jumpai buku kumpulan cerpen di toko

buku.

Hamka. Selanjutnya cerpen berkembang dengan

pesat dan kini merupakan bentuk prosa yang domi-

nan karena mudah disampaikan melalui surat kabar,

majalah, dan radio. Bahkan ada majalah yang sema-

ta-mata memuat cerpen. Suman H.S. dikenal sebagai

“Bapak Cerpen dan Novelis Indonesia”. Novel per-

tamanya adalah

Kasih Tak Terlerai

(1929).

10.110.1

10.110.1

10.1

Mengidentifikasi Alur

Mengidentifikasi Alur

Mengidentifikasi Alur

Mengidentifikasi Alur

Mengidentifikasi Alur

,,

,,

,

PP

PP

P

enokohan, dan L

enokohan, dan L

enokohan, dan L

enokohan, dan L

enokohan, dan L

ataratar

ataratar

atar

dalam Cerpen

dalam Cerpen

dalam Cerpen

dalam Cerpen

dalam Cerpen

Mengidentifikasi cerpen dapat dilakukan ber-

dasarkan dua unsur, yaitu unsur intrinsik dan unsur

ekstrinsik. Anda tentu sudah sering mempelajari ke-

dua unsur ini. Kedua unsur ini merupakan salah satu

bahan kajian hasil karya sastra. Pada bagian ini Anda

akan mengidentifikasi unsur intrinsik cerpen.

Di bab sepuluh ini, melalui topik “Cerpen”, kalian

akan diajak untuk dapat mengidentifikasi alur

penokohan dan latar dalam cerpen. Selain itu kalian

juga akan diajak untuk dapat menemukan nilai-nilai

dalam cerpen yang dibacakan.

Untuk itu

pertama-tama

kalian diajak untuk dapat

mengidentifikasi alur dalam cerpen yang dibaca, men-

diskusikan penokohan dan latar dalam cerpen, dan

memberikan komentar terhadap isi cerpen berda-

sarkan kelebihan dan kekuranganya isinya.

Kedua

, kalian diajak untuk dapat menemukan

nilai moral yang terkandung dalam cerpen; menemu-

kan nilai keagamaan yang terkandung dalam cerpen.

Selamat belajar dan sukseslah selalu.

Di Indonesia cerpen mulai ditulis sekitar 1930.

Kumpulan cerpen yang pertama adalah

Teman Duduk

karya M. Kasim (1936). Cerpen kemudian dikembangkan

oleh pengarang Pujangga Baru, seperti Armin Pane dan

118

Bahasa dan Sastra Indonesia Kelas XI SMA/MA

10.1.110.1.1

10.1.110.1.1

10.1.1

Membaca Cerpen

Membaca Cerpen

Membaca Cerpen

Membaca Cerpen

Membaca Cerpen

Bacalah cerpen berikut ini dengan lafal dan intonasi yang benar!

Nggak TNggak T

Nggak TNggak T

Nggak T

ahu Malu

ahu Malu

ahu Malu

ahu Malu

ahu Malu

Suatu petang, seorang wanita muda sedang duduk di ruang

tunggu bandara yang tak terlalu ramai. Jenuh menunggu, ia pun

berjalan-jalan, masuk ke sebuah toko buku dan membeli novel,

favoritnya. Sebelum kembali ke tempat duduknya, ia pun me-

nyempatkan membeli sekantung kue. Selang satu kursi di sebelah

kanan tempat duduk wanita itu, duduk seorang pria tua berkaca-

mata dengan tongkat kayu tergenggam erat di tangannya. Setelah

tersenyum basa-basi kepada pria tua itu, ia pun duduk dan langsung

asyik membaca novel yang baru dibelinya. Tanpa menghiraukan

apa pun yang terjadi di sekitarnya, sebagaimana layaknya ke-

banyakan sikap orang metropolitan. Wanita itu terus membaca

dan membaca.

Setelah beberapa menit, ia mulai terganggu ketika pria tua

itu mengambil satu kue dari kantung yang diletakkan di kursi di

antara mereka, lalu memakan kue itu dengan nikmatnya. Mulanya,

wanita itu tak menghiraukannya sambil terus membaca buku dan

mengambil satu kue serta memakannya. Tapi apa yang terjadi?

Pria tua itu pun kemudian mengambil lagi satu kue sambil terse-

nyum lalu memakannya.

Karena tak mau ambil pusing dan membuat keributan, wanita

itu tetap membiarkannya sambil terus membaca, memakan kue,

dan sekali-kali melihat jam yang tergantung di dinding ruang

tunggu. Lagi-lagi, pria tua itu pun mengambil satu kue dan me-

makannya. “Kalau saja aku sedang tak berbaik hati, sudah kupang-

gil polisi bandara yang sedang berjaga itu agar laki-laki tua tak

tahu diri ini ditahan,” gumam wanita itu kesal dan sedikit marah.

Setiap satu kue diambil dan dimakannya, pria tua itu pun

mengambil satu kue dan memakannya hingga tibalah saat ketika

tinggal satu kue tersisa dalam kantung. Wanita itu membiarkannya

karena penasaran dan mencoba ingin tahu apa yang akan dilakukan

pria tua itu. Dengan senyum dan tawa kecil yang agak gugup, pria

tua itu pun mengambil kue terakhir dan memotongnya menjadi

dua lalu memberikan satu bagian kepada wanita itu.

“Nggak tahu malu!” kembali ia mengomel dalam hatinya

dengan raut wajah yang kecut dan agak marah.

Tiba-tiba terdengar pengumuman dari petugas bandara

bahwa pesawat yang akan ditumpangi wanita itu telah datang

dan seluruh penumpang dipersilakan segera menaiki pesawat.

“Kalau saja aku sedang tak berbaik hati,

sudah kupanggil polisi bandara yang

sedang berjaga itu agar laki-laki tua tak

tahu diri ini ditahan,” gumam wanita itu

kesal dan sedikit marah.

1. Cermatilah cerpen

Nggak Tahu

Malu

!

2. Menurut pendapat Anda

kelebihan apakah yang diton-

jolkan dalam cerpen tersebut?

Apakah dari segi unsur peno-

kohan, tema, atau alur?

119

Bab 10 Cerpen

10.1.210.1.2

10.1.210.1.2

10.1.2

AlurAlur

AlurAlur

Alur

, P, P

, P, P

, P

enokohan, dan L

enokohan, dan L

enokohan, dan L

enokohan, dan L

enokohan, dan L

atar Cerpen

atar Cerpen

atar Cerpen

atar Cerpen

atar Cerpen

A. Alur

Berdasarkan hubungan tersebut, setiap cerita mempunyai pola

alur sebagai berikut:

a. perkenalan keadaan;

b. pertikaian/konflik mulai terjadi;

c.

konflik berkembang menjadi semakin rumit;

d. klimaks;

e. peleraian/solusi/penyelesaian.

B. Penokohan

Penokohan atau perwatakan adalah pelukisan tokoh cerita, baik

keadaan lahir maupun batinnya termasuk keyakinannya, pandangan

hidupnya, adat-istiadat, dan sebagainya. Yang diangkat pengarang

dalam karyanya adalah manusia dan kehidupannya. Oleh karena itu,

penokohan merupakan unsur cerita yang sangat penting. Melalui

penokohan, cerita menjadi lebih nyata dalam angan pembaca.

Ada tiga cara yang digunakan pengarang untuk melukiskan watak

tokoh cerita, yaitu dengan cara langsung, tidak langsung, dan kon-

tekstual. Pada pelukisan secara langsung, pengarang langsung

melukiskan keadaan dan sifat si tokoh, misalnya cerewet, nakal, jelek,

baik, atau berkulit hitam. Sebaliknya, pada pelukisan watak secara

tidak langsung, pengarang secara tersamar memberitahukan keadaan

tokoh cerita. Watak tokoh dapat disimpulkan dari pikiran, cakapan,

dan tingkah laku tokoh, bahkan dari penampilannya. Watak tokoh

juga dapat disimpulkan melalui tokoh lain yang menceritakan secara

tidak langsung. Pada Pelukisan kontekstual, watak tokoh dapat

disimpulkan dari bahasa yang digunakan pengarang untuk mengacu

kepada tokoh.

C. Latar

Latar dibedakan menjadi tiga, yaitu latar waktu, latar tempat,

dan latar suasana. Latar waktu adalah waktu (masa) tertentu ketika

peristiwa dalam cerita itu terjadi. Latar tempat adalah lokasi atau

1. Ketika Anda membaca cerita di

atas, bagaimana perasaan Anda

di awal cerita?

2. Ketika Anda membaca cerita di

atas, bagaimana perasaan Anda

di akhir cerita?

3. Siapakah tokoh-tokoh sentral

dalam cerpen tersebut?

4. Apa konflik yang dimunculkan

dalam cerpen tersebut?

5. Pada diri tokoh mana cerita itu

berkembang?

6. Pada paragraf mana gambaran

tokoh lelaki tua digambarkan

kurang baik?

7. Sebutkan latar cerita (tempat,

waktu, dan suasana) cerita pen-

dek tersebut!

8. Tuliskan ide pokok yang terda-

pat dalam cerpen tersebut!

9. Apa komentarmu terhadap pe-

san cerita yang disajikan penulis?

10. Cukup efektifkah cara penyajian

cerita tersebut dalam mengolah

perasaan pembaca?

11. Jelaskan hubungan antara judul

cerpen dan isinya!

12. Logis tidakkah apa yang digam-

barkan dalam cerpen di atas?

13. Tanggapilah cara pembacaan

cerpen teman-teman Anda! Apa

kekurangan dan kelebihannya?

14. Sampaikanlah tanggapan Anda

tersebut di muka kelas!

Wanita itu pun segera mengemasi barang-barangnya tanpa sedikit

pun menghiraukan si pencuri kue itu. Ia bergegas menuju pesawat.

Setelah berada di dalam pesawat, ia pun duduk dengan santai

dan melanjutkan membaca novelnya. Sesaat setelah pesawat lepas

landas, tanpa sengaja ia memegang tas kecil yang dibawanya

dan dengan sangat terkejut mendapati sekantung kue di dalamnya.

Itu adalah kue yang dibelinya di bandara.

“Kalau kueku ada di sini,” dia bergumam dengan napas yang

agak sesak, “berarti kue yang tadi kumakan adalah kue pria tua

itu dan dia berbaik hati berbagi denganku.” Terlambat untuk minta

maaf. “Ah, ternyata sayalah si pencuri kue itu.”

So... hati hati, jangan berprasangka buruk!

Too much suuzon will kill you.

Sumber:

Percikan Iman

No. 2 Th. 2004

120

Bahasa dan Sastra Indonesia Kelas XI SMA/MA

bangunan fisik lain yang menjadi tempat terjadinya peristiwa-pe-

ristiwa dalam cerita. Suasana adalah salah satu unsur intrinsik yang

berkaitan dengan keadaan psikologis yang timbul dengan sendirinya

bersamaan dengan jalan cerita. Suatu cerita menjadi menarik karena

berlangsung dalam suasana tertentu. Misalnya, suasana gembira,

sedih, tegang, penuh semangat, tenang, damai, dan sebagainya.

Suasana dalam cerita biasanya dibangun bersama pelukisan tokoh

utama. Pembaca mengikuti kejadian demi kejadian yang dialami tokoh

utama dan bersama dia pembaca dibawa larut dalam suasana cerita.

10.210.2

10.210.2

10.2

Nilai-nilai dalam Cerpen

Nilai-nilai dalam Cerpen

Nilai-nilai dalam Cerpen

Nilai-nilai dalam Cerpen

Nilai-nilai dalam Cerpen

Penulisnya cerpen tidaklah asal-asalan membuat cerita. Penulis

menuangkan idenya berdasarkan sebuah nilai yang ingin disampaikan

kepada pembacanya, misalnya nilai moral dan nilai keagamaan. Selain

kedua nilai itu, masih banyak nilai lain di masyarakat.

10.2.110.2.1

10.2.110.2.1

10.2.1

Nilai Moral dan Nilai K

Nilai Moral dan Nilai K

Nilai Moral dan Nilai K

Nilai Moral dan Nilai K

Nilai Moral dan Nilai K

eagamaan

eagamaan

eagamaan

eagamaan

eagamaan

Pernahkah Anda membaca novel

Tanah Gersang

? Novel ini

menampilkan tokoh-tokoh anak muda berandalan, khususnya tokoh

Joni. Mereka melakukan tindakan apa saja yang jelas bertentangan

dengan ajaran moral, seperti mempermainkan wanita, termasuk

dengan istri orang, menipu, merampok, dan bahkan membunuh.

Mereka jadi berandalan terutama disebabkan kurangnya perhatian

dan kasih sayang orang tua. Hal inilah yang menjadi nilai moral,

amanat, cerita itu. Hikmah yang diharapkan dapat dipetik dari cerita

itu oleh pembaca, atau amanat yang ingin disampaikan Mochtar Lubis

kepada pembaca, adalah agar kita orang tua senantiasa memper-

hatikan anak, memberikan kasih sayang dan perhatian secukupnya,

tak cukup hanya memberi uang saja dan kemudian bersenang-senang

sendiri. Jika hal tersebut dilalaikan, keadaan seperti yang diceritakan

itulah salah satu bentuk akibatnya.

Pernahkah Anda membaca cerpen karya Navis yang berjudul

Robohnya Surau Kami

? Dalam cerpen ini menceritakan kehidupan

seorang penunggu surau yang hanya beribadah dan melupakan

usuran dunia, yang akhirnya bunuh diri. Dalam cerpen ini, tampaknya

Navis ingin menyampaikan nilai keagamaan, bahwa kehidupan dunia

akherat haruslah sama-sama dijalani secara seimbang. Manusia

memang harus beribadah secara sungguh-sungguh dan selalu ingat

pada Tuhan. Namun selama masih di dunia ia tak akan dapat meng-

hindar dari kebutuhan duniawi.

Nilai moral dan nilai keagamaan tampak kental pada karya-karya

sastra Indonesia. Nilai moral dalam karya sastra biasanya mencer-

minkan pandangan hidup pengarang yang bersangkutan. Tentunya,

pandangan pengarang itu diakui sebagai nilai-nilai kebenaran olehnya

dan ingin disampaikan kepada pembaca melalui karya sastra.

Nilai moral dan nilai keagamaan tidak dapat dipisahkan satu

dengan yang lainnya. Pandangan hidup yang berhubungan dengan

Nilai moral

(nilai etik) adalah nilai

untuk manusia sebagai pribadi yang

utuh, misalnya kejujuran; nilai yang

berhubungan dengan akhlak; nilai

yang berkaitan dengan benar dan

salah yang dianut oleh golongan

atau masyarakat.

Nilai keagamaan

adalah konsep

mengenai penghargaan tinggi yang

diberikan oleh warga masyarakat

pada beberapa masalah pokok dalam

kehidupan keagamaan yang bersifat

suci sehingga menjadikan pedoman

bagi tingkah laku keagamaan warga

masyarakat bersangkutan.

KBBI

, 2001

121

Bab 10 Cerpen

moral itu bersumber dari nilai keagamaan. Seseorang bisa dikatakan

orang bermoral, karena orang itu beragama. Moral lebih dekat hu-

bungannya antara manusia dengan manusia, sedangkan agama

hubungannya antara manusia dengan Tuhan.

10.2.110.2.1

10.2.110.2.1

10.2.1

Menemukan Nilai Moral dan Nilai

Menemukan Nilai Moral dan Nilai

Menemukan Nilai Moral dan Nilai

Menemukan Nilai Moral dan Nilai

Menemukan Nilai Moral dan Nilai

KK

KK

K

eagamaan dalam Cerpen

eagamaan dalam Cerpen

eagamaan dalam Cerpen

eagamaan dalam Cerpen

eagamaan dalam Cerpen

Bacalah cerpen di bawah ini dan temukan nilai moral dan nilai

agama yang terkandung di dalamnya!

Mereka menumpahkan beras bawaannya ke bak

besar di dapur, menyalami Kasmini sambil berkata

seperlunya; lalu pulang kembali.

“Kalau aku mati, mandikan mayatku dengan

tuak,“ kata Sogol sambil mengangkat gelasnya

yang masih penuh.

“Mayatmu bisa jadi tape,“ Dirjo menyahut.

“Manis kan?”

“Dirubung semut, “ Bakron menimpali.

“Hidup dari tuak, mati pun harus dengan tuak.

Kamu harus melaksanakan.” Tuak berwarna putih

keruh itu segera ditenggak oleh Sogol hingga habis.

Gelasnya diberikan pada Dirjo untuk giliran minum

berikutnya. Dari Dirjo gelas lantas dioperkan pada

Bakron, lalu ke Yudi. Demikianlah gelas itu diputar

secara beranting untuk wadah minum tuak hingga

ke Sogol kembali.

“Ada satu lagi amanatku,” Sogol kembali ang-

kat bicara. “Apa tadi?”

“Amanat!”

“Wih, pakai amanat segala. Kayak orang top

saja,” sergah Kamit.

“Ini serius. Di samping memandikan dengan

tuak, saya minta diiringi tabuhan kuda lumping saat

dimandikan dan dibawa ke kubur.”

“Gampang!”

Permintaan Sogol seperti ini sudah sering

diucapkan. Setiap kali minum tuak bersama teman-

temanya, Sogol mengulangi permintaannya. Ham-

pir semua orang dalam lingkaran pergaulannya

telah mengetahui. Sogol dan tuak sepertinya tak

dapat dipisahkan. Lelaki berkulit gelap ini membuka

warung tuak di depan rumahnya. Banyak laki-laki

nongkrong di sini sepanjang hari. Tak heran kalau

anak-anak memanggil Sogol dengan “Pak Tuak”.

ProsesiProsesi

ProsesiProsesi

Prosesi

Mayat itu segera dimandikan dengan tuak.

Sepuluh jerigen tuak ukuran besar sudah berbaris

dekat dipan jerigen. Tabir kain wama hitam telah

mengelilinginya. Sebentar lagi mayat Sogol akan

dibaringkan di sini. Para pelayat, khususnya teman-

teman akrab sang mayat, telah mempersiapkan

segalanya. Mereka mungkin akan menggerojokkan

tuak dari mulut jerigen ke sekujur tubuh mayat secara

bergantian, berjalan dari ujung kepala hingga ujung

kaki. Di langit, matahari mulai agak condong ke barat.

Udara masih terasa panas. Debu-debu berterbangan.

Orang-orang terus mengalir ingin menyaksikan pro-

sesi pemakaman Sogol.

Sementara bunyi tetabuhan kuda lumping terus

bertalu-talu. Bunyinya keras, menghentak-hentak, dan

menggema ke mana-mana. Suasana kematian nyaris

terasa. Anak-anak berlarian mendekat. Mereka

mengelilingi para penabuh hingga membentuk ling-

karan yang makin lama makin memadat. Tetabuhan

ini akan terus mengiringi saat mayat Sogol diman-

dikan, diusung ke kubur, hingga ditanam di liang inilah

prosesi paling ganjil, aneh, sekaligus meriah. Di se-

panjang jalan usungan mayat Sogol akan ditonton

seperti karnaval. Orang-orang akan berdiri di tiap

pagar depan rumah mereka, sedangkan anak-anak

akan mengikuti para penabuh gamelan dari rumah

hingga ke mulut kuburan.

Mayat Sogol terbujur beku bertutupan kain jarit.

Sogol dibaringkan di atas dipan kecil tepat di tengah

ruangan. Beberapa orang terlihat duduk pada gelaran

tikar di sekitarnya. Rumah ini terasa amat sempit

dan mengigit. Sesekali terlihat kepala Kasmini, istri

Sogol, nongol dari pintu tengah dengan mata sembab.

Seperti kadal hendak keluar dari lubangnya, kepala

perempuan itu menoleh ke kiri kanan, melihat mayat

suaminya beberapa saat, kemudian masuk kembali.

Para pelayat perempuan datang dari pintu belakang.

122

Bahasa dan Sastra Indonesia Kelas XI SMA/MA

Sebelum itu, Sogol adalah seorang pemain

kuda lumping keliling. Sudah lama dia ikut kelom-

pok kesenian ini, menjajakan hiburannya dari

kampung ke kampung. Karena merasa pengha-

silannya terus melorot, Sogol akhirnya berhenti.

Dia beralih membuka warung tuak yang dilengkapi

makanan kecil. Sepanjang hari Sogol di warung

ini, berjualan sekaligus ikut menikmati barang

dagangannya. Sementara istrinya menjadi buruh

cuci dan setrika pakaian dari rumah ke rumah.

Perempuan ini pagi-pagi sudah pergi dari rumah,

pulang sebentar pada tengah hari, kemudian

berangkat lagi hingga petang.

Meski hampir seharian Kasmini berada di luar

rumah, Sogol tak pernah keberatan, bahkan

merasa senang karena istrinya mampu memper-

oleh penghasilan. Bagi Sogol, asalkan di rumah

sudah disediakan nasi dan lauk ala kadarnya, dia

sudah bisa hidup hingga sore. Nyaris sepanjang

hari mereka tak saling mengetahui pekerjaan ma-

sing-masing.Dulu ketika awal Sogol membuka

warung tuak, pertengkaran memang kerap terjadi.

Kasmini tak setuju karena orang-orang yang mabuk

selalu membuat ulah. “Pulang saja ke desamu kalau

tak setuju!” kata Sogol. “Aku juga bisa kerja!”jawab

Kasmini.

“Orang mandul kayak kamu mau kerja? Pa-

ling-paling... ?”

“Kamu yang mandul!”

“Kalau aku kawin lagi pasti punya anak.”

Sogol selalu memancing keributan. Lama-

lama Kasmini merasa bosan. Perempuan itu pun

akhirnya tak terlalu ambil peduli. Meladeni Sogol

akan menghabiskan tenaga. Dengan bersikap

seperti itu Kasmini menjadi tenang. Rumah tang-

ganya pun berjalan. Cintanya pada Sogol timbul

tenggelam. Kewajibannya sebagai istri kadang

dilaksanakan dengan senang hati, tapi pada ke-

sempatan lain ada kemalasan merambat.

Kecintaan Sogol pada kuda lumping ternyata

tidak hilang. Hari itu ada sekelompok kesenian yang

dulu diikutinya lewat di depan rumah. Sogol masih

mengenal anggotanya. Dia meminta agar kelompok

itu main di situ. Ternyata mereka setuju. Pertun-

jukan kuda lumping akan segera digelar. Salah se-

orang anggotanya, terutama perempuan, akan

meminta uang kepada para penonton secara ber-

keliling dengan cara menyodorkan topi terbalik

yang sebelumnya terlebih dahulu diletakkan sejum-

lah uang sebagai pancingannya.

Karena merasa sudah lama tak terlibat, tiba-

tiba Sogol memutuskan untuk ikut bermain. Dia

pun segera mengambil kuda dari nyaman bambu

dan menaikinya. Dia masih hafal benar gerakan

dan urutan-urutannya. Dengan diiringi tetabuhan

yang menghentak-hentak, lelaki itu berlenggak-

lenggok di tengah arena. Para penonton pun mulai

berdatangan. Bunyi-bunyian itu telah memang-

gilnya.

“Wah, Sogol ikut main!“ terdengar teriakan

dari gerombolan penonton.

“Terus!”

Ternyata benar. Sogol kesurupan. Dia menjadi

tontonan yang menarik. Matanya tampak merah

dan nyalang. Lidahnya dijulur-julurkan dan mengu-

nyah-ngunyah. Kuda anyaman bambu itu dipegang

kuat-kuat. Dia berputar-putar. Tapi sang pawang

tampaknya punya keinginan lain. Sogol dipegang

keningnya. Kuda tiruan diselakangan Sogol itu

lantas dicabutnya. Sogol oleng beberapa saat. Sang

pawang menegakkannya. Tiba-tiba gerakan Sogol

seperti bermain silat. Kakinya pasang kuda-kuda

dan kedua tangannya merentang ke samping. Lelaki

itu dengan cepat koprol, jungkir balik, lalu berguling

tiga kali di tanah. Sekarang dia bangkit lagi. Pasang

kuda-kuda. Dengan sigap kedua telapak kakinya

menghentak tanah. Sogol pun salto ke udara. Pe-

nonton bersorak.

Ternyata benar. Sogol kesurupan. Dia menjadi

tontonan yang menarik. Matanya tampak merah

dan nyalang.

123

Bab 10 Cerpen

Bunyi tetabuhan tiba-tiba beralih seperti irama

dangdut. Sogol spontan berjoget. Lenggak-lenggok

tubuhnya sangat luwes. Para penonton tertawa.

Tidak seberapa lama Bakron masuk ke arena de-

ngan membawa segelas tuak dan disodorkan ke

Lelaki itu meminumnya dengan cepat. Beberapa

saat setelah itu muncul lagi Dirjo. Kali ini bukan

tuak yang disodorkan, tapi bir. Sogol pun meneng-

gaknya. Belum ada dua menit, ganti Kamit yang

menyodorkan segelas minuman. Kali ini warna

minuman itu agak keungu-unguan. Tubuh Sogol

terlihat makin ringan. Gerakan dan lenggokannya

makin lentur. Arena ini benar-benar milik Sogol.

Para penonton melingkar makin padat. Sogol

terus berjoget mengikuti irama

jula-juli dangdut

.

Topi terbalik tampak dikelilingkan kembali. Para

penonton mengisinya dengan uang recehan secara

sukarela. Sesekali uang logam recehan yang dilem-

par berbenturan hingga salah mental keluar dan

menggelinding di tanah.

“Minum lagi !” Karno menyodorkan tuak kem-

bali. Warna minuman itu sangat Keruh.

Mulut Sogol seperti sumur kehausan. Segala

yang disodorkan ditenggak dengan cepat. Para

peminum yang biasa nongkrong di warung Sogol

kali ini berkumpul. Mereka bergantian masuk arena

untuk menyodorkan tuak dan berbagai minuman

keras pada Sogol. Satu per satu. Entah sudah bera-

pa gelas mengalir ke tenggorokannya.

Beberapa saat setelah pertunjukan usai, Sogol

tak sanggup bangkit. Jadi dia digotong menjauh

dari arena kemudian dibaringkan untuk memulih-

kan kesadarannya. Tapi kondisi Sogol belum juga

pulih setelah beberapa waktu berlalu. Mulut lelaki

itu tampak mengeluarkan busa. Beberapa orang

menggoncang-goncangkan tubuhnya. Usaha itu tak

membawa hasil. Ternyata Sogol sudah kehilangan

nyawanya. Istri laki-laki itu menjerit dan diikuti

tangisan panjang. Orang-orang terhentak. Para te-

tangga berlarian. Berita kematian segera mengalir.

Mereka yang telah meninggalkan tontonan itu kem-

bali berlarian ke rumah Sogol. Para penabuh game-

lan yang mulai berkemas mengurungkan niatnya.

Tak ada yang tahu pasti sebab kematian Sogol.

Ada yang mengatakan bahwa Sogol kecapekan.

Ada pula yang menyatakan bahwa Sogol diambil

oleh roh halus yang menempel saat kesurupan tadi.

Terdengar pula kabar, di antara tuak yang diminum-

kan Sogol tadi ada yang dioplos dengan spiritus.

Yang paling mengejutkan, katanya, ada juga tuak

yang dioplos dengan obat nyamuk oles dan jamur.

Semua ditenggak Sogol. Bekas bungkus obat nya-

muk oles itu memang benar-benar ada, tergeletak

di tempat orang-orang yang menyodorkan tuak dan

berbagai minuman keras tadi. Berita yang terakhir

ini lebih masuk akal, tapi tak ada yang berani me-

mastikan.

“Mayatnya perlu di bawa ke rumah sakit untuk

diotopsi,” kata Pak RT kepada Kasmini.

“Diapakan?”

“Diperiksa.”

“Apa bisa hidup lagi ?” istri Sogol itu melon-

tarkan pertanyaan lagi.

“Ya nggak bisa, tapi biar jelas.”

Kasmini akhirnya memutuskan agar mayat

suaminya tetap di rumah. Dia takut akan dikenakan

berbagai biaya: ambulans, ongkos dokter, obat-

obatan, dan keperluan lainnya. Rumah tangganya

dengan Sogol yang berlangsung lebih dari lima

belas tahun juga tak dikaruniai anak. Jika mayat

suaminya harus dibawa ke rumah sakit, tentu makin

merepotkan dirinya sendiri. Bagi Kasmini ada satu

pemikiran praktis: suaminya tak mungkin hidup lagi

meski dibawa ke rumah sakit. Jadi biarlah mayat

itu di rumah.

Tetabuhan semakin keras. Sudah cukup lama

bunyi, gamelan itu bertalu-talu. Perlengkapan untuk

memandikan mayat sudah lengkap. Kini orang-

orang yang hendak melaksanakan tugasnya sudah

bergerombol dekat tabir.

“Nunggu apa lagi? Ayo dimandikan!” terdengar

teriakan.

“Ayo mulai!”

Empat laki-laki berjalan ke halaman. Mereka

berunding dulu beberapa saat, kemudian segera

masuk ke rumah. Tak lama berselang, mayat Sogol

pun tampak diusung keluar. Tetabuhan makin

menggila. Sepertinya pertunjukan besar segera

dimulai. Pandangan orang-orang tersedot ke arah

mayat. Sedangkan anak-anak berlarian hendak

menyaksikan dari dekat. Usungan itu telah tiba di

tempat pemandian.

Tabir kain warna hitam disingkap. Jenazah pun

masuk dan dibaringkan di dipan kecil ukuran mayat.

“Buka saja tabirnya!”

124

Bahasa dan Sastra Indonesia Kelas XI SMA/MA

Tabir disingkap makin lebar. Mayat Sogol masih

beku tertutup kain jarit. Sepuluh jerigen tuak ditata

memanjang di dekatnya. Orang-orang saling me-

lihat.

“Gimana cara memandikannya?” Kamit mem-

buka.

“Ya langsung di

gerojok

tuak.”

“Dicucurkan sedikit demi sedikit dari mulut

jerigen.”

“Nggak gitu,” Dirjo memotong,

“Tuak dituangkan dulu ke dalam bak, terus

diambil dengan gayung. Disirami kayak nyirami

kembang.”

“Mestinya pakai kain yang dicelupkan ke dalam

tuak. Kain basah itulah yang pakai membersihkan

tubuh Sogol,” Wasis urun rembuk.

“Itu namanya bukan dimandikan, tapi diseka.”

“Itu

ngerepoti.

Buka saja tutup jerigennya.

Satu orang bawa satu jerigen. Kucurkan dari kepala

hingga kaki mayat secara bergantian. Cepat sele-

sai. Setuju?”

Darmaji menawarkan idenya.

“Sepuluh jerigen besar. Tempat ini bisa banjir

tuak.”

“Begini,” seorang lagi maju, “Kita buat dulu

kayak kolam kecil dan diberi Tuak kita tuangkan

semua ke kolam. Baru tubuh Sogol dimasukkan ke

dalamnya beberapa saat.”

“Itu namanya merendam, bukan meman-

dikan.”

“Tuak hanya untuk syarat. Jangan banyak-

banyak,” terdengar lagi usulan dari Munip.

“Oh tidak! Namanya mandi ya pasti banyak,”

Bakron maju.

“Sogol tidak ngomong banyaknya. Yang pen-

ting pesannya sudah kita laksanakan.”

“Tuaknya ada sepuluh jerigen. Harus kita ge-

rojokkan semua. Biar sempurna.” Sukamat maju.

Dia menyibak dan mendekati mayat sambil berkata,

“Satu jerigen cukup. Terus kita bilas dengan air.”

“Tidak usah air. Dia minta dimandikan dengan

tuak. Bukan air.”

“Air itu untuk membilas.”

“Lho?

Lak

percuma kalau gitu. Tuaknya kan

hilang?”

Orang-orang saling melihat.

“Kalau begitu, begini,” Dulatip ambil bagian,

“Tubuh mayat itu kotor. Disiram dulu dengan air,

terus disabun sampai bersih, setelah itu disiram

lagi dengan air. Baru yang terakhir disiram dengan

tuak.”

“Berarti akan kotor lagi?”

“Lengket.”

“Namanya tuak pasti lengket.”

“Tapi itu permintaan Sogol!”

“Terus gimana? Perlu air atau tidak?”

“Tidak!”

“Perlu”

“Yang Pasti?”

“Kalau gitu tolong angkat tangan. Siapa yang

setuju atau tidak. Juga bukan soal suara terbanyak.

Tolong dikembalikan pada pesan Sogol. Dia minta

‘mandikan mayatku dengan tuak’

. Titik.”

“Kalimat persisnya gimana?”

“Saya pernah dengar,” Yudi menjawab cepat,

”dia minta

disucikan dengan tuak

.”

“Tuak tidak bisa dipakai menyucikan,” Pak RT

mengangkat tangannya.

“Bukan soal suci. Dia minta dimandikan dengan

tuak. Kata Dirjo tadi benar,” Bakron kembali bicara.

“Betul, dimandikan!” Sarmidi mengangkat

tangannya.

“Dimandikan!”

“Daripada ramai, lebih baik tak usah diman-

Tabir disingkap makin lebar. Mayat Sogol

masih beku tertutup kain jarit. Sepuluh

jeriden tuak ditata memanjang di dekatnya.

Orang-orang saling melihat.

125

Bab 10 Cerpen

dikan. Langsung dikubur saja.”

“Itu malah salah!” sergah Matali.

Suasana tiba-tiba menegang. Mereka saling

memandang. Kali ini tak ada yang bicara. Semen-

tara bunyi tabuhan terus bertalu-talu. Para pelayat

yang mendekati tempat pemandian makin banyak.

Sebagian anak-anak menerobos ke depan. Tapi

mayat Sogol masih terbujur kaku dalam kain jarit.

Tak bergerak.

“Kalau begitu panggilkan Pak Modin saja. Dia

kan terbiasa ngurusi mayat,” Pak RT memberi sa-

ran.

“Sogol minta yang memandikan kita. Bukan

Pak Modin. Tadi kami sudah ngomong sama Pak

Modin. Dia terus pulang kembali.”

“Saya juga temannya. Jadi boleh dong mem-

beri saran. Kasihan mayatnya udah terlalu lama di

sini.”

“Justru kami ingin melaksanakan amanat

Sogol.”

“Dia sudah mati. Semua tergantung kita.”

“Bukan tergantung kita, tapi tergantung pesan

Sogol,” Sarinidi menuding ke mayat.

“Tidak semua pesan harus dilaksanakan.”

“Justru kami salah kalau tidak melaksanakan

amanatnya. Dia bisa gentayangan mencari-cari

kami.”

“Ayo laksanakan! Buka tuaknya!” suara itu

terdengar makin keras.

“Ayo!”

“Ayo!”

Bunyi tetabuhan juga makin keras menggema.

Sebagian orang dengan cepat bergerak. Terlihat

teman-teman sang mayat sudah menenteng je-

rigen. Satu persatu tutup jerigen itu dibuka. Kini

sepuluh jerigen besar itu sudah siap. Bakron segera

mendekat ke bagian kepala mayat, kemudian

disusul Dirjo, Kamit, Karno, Yudi, Sarmidi, Matali,

dan yang lainnya. Tampak sekali Bakron ingin sege-

ra membuka kain penutup mayat. Para pelayat

lainnya makin mendekat. Mereka membentuk ling-

karan. Sekian banyak kepala berebut untuk dapat

kain penutup kepala.

“Bisa dimulai?” Bakron memegang kain penu-

tup kepala.

“Jangan dulu!”

“Nunggu apa lagi?” Kamit kelihatan tak sabar.

“Ayo buka!”

Dengan tangan agak bergetar Bakron membu-

ka kain penutup. Orang-orang tiba-tiba tak ada

yang bersuara. Kepala mereka terarah ke mayat.

Suasana menjadi hening. Kain itu mulai disingkap

pelan-pelan. Rambut sang mayat mulai tampak,

lalu disusul kening, wajah, serta leher. Bakron

berhenti tepat di bagian dada. Perhatian tersedot

ke arah mayat. Sosok yang sudah tak bernyawa

itu tampak pucat, beku, dan kosong.

“Gimana?” nada Bakron menurun.

“Buka terus.”

“Ya, buka.”

Bakron melanjutkan membuka. Kain itu terus

dilorot ke bagian bawah. Tubuh mayat semakin

jelas. Kedua tangannya bersedekap di atas perut.

Ketika sampai di bawah pusar, tangan Bakron dihen-

tikan oleh Dirjo. Mereka saling memandang. Dirjo

memegangi kain singkapan itu. Bagian kaki kemu-

dian disingkap ke atas. Kain itu dihentikan dan

mengumpul di bawah pusar. Wajah dan tubuh

mayat tampak sempurna.

“Sudah, disiram?”

“Ya .”

“Ay o .”

“Siram.”

Mereka segera mengangkat jerigen itu ke

pundak. Penutup jerigen itu sudah membuka. Bau

kecut tuak melintas-lintas. Mereka akan menyiram-

kan ke sekujur tubuh mayat dari kepala hingga ke

kaki. Bakron berada pada giliran pertama. Dia men-

dekat ke kepala mayat. Jerigen di pundak ditu-

runkan dan siap digerojokkan ke kepala mayat. Dia

berhenti beberapa saat. Memandang ke kanan kiri.

Tak ada yang bersuara. Hening.

“Sudah?”

“Ayo, siram!” terdengar suara tak sabar.

“Ayo!”

“Ayo!”

Para pelayat mendekat. Merangsek maju.

Semua kepala berebut nongol. Bakron mengatur

posisinya. Jerigen sudah dalam posisi agak mir-

ing. Isinya sudah kelihatan bergerak-gerak. Tuak

sebentar lagi mengucur dari mulut jerigen. Tumpah

ke wajah mayat.

“Satu, dua, ....”

126

Bahasa dan Sastra Indonesia Kelas XI SMA/MA

Diskusikan soal-soal berikut ini

dalam kelompok!

1. Analisislah tokoh dan peno-

kohan cerpen

Prosesi!

2. Analisislah alur yang digunakan

dalam cerpen

Prosesi!

3. Analisislah latar yang ada dalam

cerpan

Prosesi!

4. Analisislah nilai moral yang ter-

kandung dalam cerpen

Prosesi!

Kutiplah kalimat atau paragraf

dalam cerpen yang menunjuk-

kan nilai tersebut!

5. Analisislah nilai keagamaan yang

terkandung dalam cerpen

Prosesi!

Kutiplah kalimat atau

paragraf dalam cerpen yang me-

nunjukkan nilai tersebut!

6. Menurut Anda nilai apakah yang

paling menonjol pada cerpen

Prosesi?

Jelaskan!

7. Apakah Anda menemukan nilai

budaya pada cerpen

Prosesi?

Jelaskan!

8. Apakah Anda menemukan nilai

sosial pada cerpen

Prosesi?

Jelaskan!

Setiap kelompok mengemuka-

kan hasil diskusinya di depan

kelas! Kelompok lain memberi-

kan tanggapan dan saran

Tiba-tiba terdengar suara keras.

“Hentikan!”

Para pelayat terjingkat, Pandangan mereka spontan tertuju

ke arah datangnya suara itu, Mereka menyibak. Ternyata yang

datang adalah Kasmini. Istri Sogol itu tiba dan berhenti di dekat

mayat suaminya. Bibir Kasmini bergetar. Matanya merah dan

mengeluarkan air. Dada perempuan itu tampak bergoncang-

goncang. Nafasnya sangat kerap. Dipandangi sekujur tubuh mayat

suaminya. Mulut Kasmini menggumamkan sesuatu, tapi tak jelas

terdengar.

Beberapa saat setelah itu Kasmini mendekat ke Bakron. Dia

meminta agar tuak diturunkan ke tanah. Lelaki itu menurut. Kasmini

pun meminta kepada pembawa tuak yang lain. Mereka segera

menurunkan tuak yang dipanggulnya ke tanah. Perempuan itu,

dengan tangan gemetar, menidurkan jerigen sehingga tuak

mengalir ke tanah. Para pelayat terdiam. Sebagian mereka meng-

geser kakinya karena ada tuak mengalir. Kasmini kemudian berganti

ke jerigen kedua. Tanpa menunggu isinya habis, jerigen ketiga,

keempat, kelima, dan seterusnya ditidurkan ke tanah. Tuak dalam

jerigen itu mengalir barsama-sama ke tanah. Lingkaran para pe-

layat serentak membesar. Mereka minggir. Cairan tuak melebar

ke bawah dipan dan sekitarnya. Sementara itu bunyi tetabuhan

juga berhenti.

“Saya ini istri almarhum Kang Sogol. Sayalah yang berhak

menentukan. Saya minta jenazah suami saya diperlakukan seperti

wajarnya. Maafkan suami saya. Saya minta Pak Modin.... Pak Modin

....,” suara perempuan itu makin bergetar. Dia tak sanggup

meneruskan kata-katanya. Tangannya ditutupkan ke wajah. Tu-

buhnya agak oleng. Pak RT segera memegangi kedua pundak

Kasmini. Perempuan itu sesenggukan. Sedangkan Pak Modin

ternyata sudah berdiri di belakangnya.

Para pelayat terdiam. Mereka bersedekap. Ada rasa haru

melintas pada wajah mereka. Di tengah-tengah, tubuh Sogol mem-

bujur kaku. Sebagai orang yang bertugas mengurusi jenazah di

desa ini, Pak Modin tahu dan mengerti apa yang diminta oleh

Kasmini.

Cuaca meredup. Terlihat awan putih bergerak lamban di langit.

Esok dan seterusnya, Sogol tak akan kembali. Para pelayat

mengantarkannya ke kuburan. Di sepanjang jalan, orang-orang

yang berdiri di depan rumah melihat usungan itu dengan haru.

Usungan terus menjauh dan menjauh. Menuju ke pekuburan. Debu-

debu yang tersaruk kaki para pelayat masih mengapung-apung di

sepanjang jalan yang habis dilalui, menempel di pagar-pagar dan

daun-daun. Sementara, matahari mulai lingsir, pertanda hari

segera berakhir.

M. Shoim Anwar, Guru SMA Alhikmah, Jalan Kebonsari

Elveka V Surabaya, Jawa Timur

127

Bab 10 Cerpen

Di Indonesia cerpen mulai ditulis sekitar 1930.

Kumpulan cerpen pertama adalah

Teman Duduk

karya

M. Kasim (1936). Cerpen kemudian dikembangkan

oleh pengarang Pujangga Baru, seperti Armin Pane

dan Hamka. Selanjutnya cerpen berkembang dengan

pesat. Bahkan kini merupakan bentuk prosa yang

dominan karena mudah disampaikan melalui surat

kabar, majalah, dan radio. Suman H.S. dikenal

sebagai “Bapak Cerpen dan Novelis Indonesia”. Novel

pertamanya adalah

Kasih Tak Terlerai

(1929).

Mengidentifikasi cerpen dapat dilakukan

berdasarkan dua unsur, yaitu unsur intrinsik dan unsur

ekstrinsik.

Setiap cerita mempunyai pola alur sebagai berikut

perkenalan keadaan, pertikaian atau konflik terjadi,

konflik berkembang menjadi semakin rumit, klimaks,

peleraian/solusi/penyelesaian.

Penokohan atau perwatakan adalah pelukisan

tokoh cerita, baik keadaan lahir maupun batin,

termasuk keyakinan, pandangan hidup, adat-

istiadatnya, dan sebagainya.

Ada tiga cara untuk melukiskan watak tokoh

cerita, yaitu dengan cara langsung, tidak langsung,

dan kontekstual.

Ada tiga jenis latar, yaitu latar waktu, latar tempat,

dan latar suasana. Latar waktu adalah waktu tertentu

ketika peristiwa dalam cerita itu terjadi. Latar tempat

adalah lokasi atau bangunan fisik lain yang menjadi

tempat terjadinya peristiwa dalam cerita. Latar

suasana adalah salah satu unsur intrinsik yang

berkaitan dengan keadaan psikologis yang timbul

dengan sendirinya bersamaan dengan jalan cerita.

Suasana dalam cerita biasanya dibangun bersama

pelukisan tokoh utama.

Penulis cerpen dalam menuangkan idenya

berdasarkan nilai tertentu yang ingin disampaikannya

kepada pembaca. Nilai moral dan keagamaan tampak

kental pada karya-karya sastra Indonesia. Nilai moral

dalam karya sastra biasanya mencerminkan

pandangan hidup pengarangnya. Nilai moral dan nilai

keagamaan tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

Pandangan hidup yang berhubungan dengan moral

itu bersumber dari nilai keagamaan. Moral lebih

berkaitan dengan manusia, sedangkan agama lebih

dalam hubungannya dengan Tuhan.

128

Bahasa dan Sastra Indonesia Kelas XI SMA/MA

I.

Pilihlah salah satu jawaban yang paling

tepat!

1.

Roda-roda bus bergelutuk ketika berhenti di

tikungan, dan Grela merasakan berat kepala

wanita tua di sampingnya terjatuh di pundaknya.

Di luar sangat gelap. Orang hanya dapat menge-

nali bayang-bayang daerah yang dilewati:

pepohonan, semak-semak, dan rumah-rumah

kumuh di pinggiran kota. Belum begitu terlambat

meskipun hujan akan turun sepanjang hari,

lampu-lampu pagi diganti oleh lapisan awan.

Unsur intrinsik yang menonjol pada kutipan di

atas adalah ... .

a. penokohan

b. alur

c. tema

d.

setting

e. amanat

2.

Nenek mengeluh, “Aku tahu tidak baik memi-

kirkan kematian jika memiliki yang hidup.”

Pesan yang terkandung dalam pernyataan di atas

adalah ... .

a. jangan mengingat lagi orang yang sudah mati

b. mengenang kembali orang mati tidak ada

gunanya

c. perhatian terhadap yang hidup harus men-

dapat prioritas bila dibandingkan dengan

orang yang sudah mati

d. memikirkan kematian hanya akan menam-

bah kesedihan

e. pada saatnya semua orang akan meninggal

3.

“Ya,” kata Grela, “orang Gipsy hanya bagian

dari sejarah.”

Dalam pandangan ayahnya yang untuk sesaat

semakin kelam, Grela memalingkan mukanya dan

memandang ke luar jendela. Gelap menjadi se-

makin pekat. Ada kesepakatan untuk tidak boleh

membicarakan hal-hal yang hilang: sejarah yang

mengalir dalam darah, sungai, tanah subur di tepi

sungai, rumput, daun-daun birke yang gugur.

Orang tidak juga berbicara tentang pengetahuan...

Perasaan Grela yang terkandung dalam cuplikan

cerpen di atas ialah ... .

a. sedih dan tertekan

b. pasrah dan penuh harapan

c. putus asa dan dendam

d. cemas dan dendam

e. marah dan benci

4.

“Kabar baik, Pak, kabar baik. Mereka berdua

wajahnya cerah-cerah. Menteri itu banyak duit,

alamat saya kebagian rezeki. Oo, jadi Pak Pong

ini kakak misan Pak Jenderal, ya? Betul mirip

memang dan selalu bangga pada keluarganya.

Dalam pidato-pidatonya selalu disebut-sebutnya:

anak desa, penderitaan rakyat, dan perjuangan

melawan Belanda,” kata penjaga itu mencoba

mengingat-ingat kembali apa yang pernah di-

ucapkan oleh jenderalnya, kepada tamunya.

“Ya, betul. Rumah kami pernah menjadi mar-

kas, waktu zaman gerilya. Masih lama ya, Pak

Menteri?” katanya tak sabar lagi.

“Tidak asal Pak Jenderal sudah mau teken,

biasanya urusannya selesai. Minumnya ditambah

lagi ya, Pak?”

Dia menggeleng lesu, dalam hatinya dium-

patnya Menteri dan tamu-tamu yang antre di situ,

merebut waktu adiknya.

Nilai budaya yang tersirat pada penggalan cerpen

di atas adalah ...

a. Mengunjungi pejabat di tempat kerjanya ti-

daklah mudah karena harus mengikuti aturan

protokoler yang telah ditentukan.

b. Pak Pong mengalami kesulitan untuk menemui

adik misannya yang jenderal itu di kantor.

c. Pak Penjaga melihat wajah Pak Jenderal mirip

dengan Pak Pong. Oleh karena itu kini ia yakin

bahwa Pak Pong adalah saudara Pak Jenderal.

d. Jika Pak Jenderal mau menandatangani yang

disodorkan oleh Menteri maka urusan pun

selesailah.

e. Pak pong merasa kesal terhadap Menteri dan

tamu-tamu yang antre menyita waktu adiknya.

129

Bab 10 Cerpen

5.

Ia berdoa memohon petunjuk Tuhan, tiba-

tiba ia mendapatkan jalan. Dilepaskannya sepatu

dan diisi air. Karena kedua tangannya harus

menekan dinding perigi agar dapat memanjat

sepatu yang berisi air itu digigitnya. Orang itu

selamat sampai di atas. Air itu segera

diberikannya kepada anjing yang kehausan itu.

Anjing minum sepuas-puasnya. Kedua makhluk

itu selamat.

Setelah membaca paragraf di atas, kita mem-

peroleh nilai sastra yang disebut ... .

a. nilai sosial

b. nilai moral

c. nilai agama

d. nilai budaya

e. nilai estetika

6.

Aku lari kembali dari rumah yang sedang

di-liputi bahagia itu. Tiba di hotel aku menangis,

ya menangis aku .... Keadaan keuangan tak

meng-izinkan lagi untuk tinggal di hotel lama-

lama. Aku pergi tinggal di sebuah rumah di

sebuah gang kecil. Yang menjadi hiburan bagiku

tinggal hanya buku-buku lagi. Aku selalu mencari,

mencari jiwaku dapat bergantung. Sekian lama

aku men-cari, tetapi sia-sia belaka.

Unsur intrinsik yang paling dominan dari peng-

galan cerpen di atas adalah ... .

a. tema

b. alur

c. penokohan

d. konflik

e. sudut pandang

7.

Kembali ke La Barka, di mana segalanya lepas

dan lapang, aku bersenang hati dapat menarik

napas lega. Tujuh hari menjadi orang ketiga bagi

sepasang manusia yang hidup saling menyelidik

dan mencari kebenaran atau kepalsuan masing-

masing, amatlah melelahkan. Tetapi aku tidak

menyesal. Setidak-tidaknya kini aku dapat menge-

tahui dasar sifat kedua orang yang baru kukenal

itu. Siapakah yang salah? Aku tidak berhak

menya-lahkan satu pihak saja. Dalam perkawinan

sering ada salah timbang. Tergantung bagaimana

suami-istri yang bersangkutan memperlakukan

serta menanggapi kekurangan tersebut.

Tokoh aku dalam penggalan novel di atas adalah

a. egois, pemarah

b. pemalu, berjiwa besar

c. bijaksana, berjiwa besar

d. penyabar, pendiam

e. pemberani, egois

8.

“Itulah manusia yang lidahnya berlawanan

dengan hatinya. Orang-orang macam itu banyak

kita jumpai di dunia. Mereka paling suka

menimbulkan bencana bagi sesamanya. Tanpa

menoleh-noleh makhluk manusia yang berbentuk

tiang itu dengan begitu sengsaranya di depan

mereka.

Nilai moral yang terkandung dalam penggalan

cerpen di atas adalah ... .

a. isi hati manusia tak dapat diterka

b. manusia jangan bersifat munafik

c. jangan menimbulkan bencana bagi sesama

d. kita harus taat pada ajaran agama

e. orang munafik banyak terdapat di sekeliling kita

9.

Nurmadi merasa istrinya mulai bertindak

semaunya. Hal ini karena ia selalu merasa ragu-

ragu dalam bertindak. Ia tidak mempunyai pendirian

dan sikap yang tegas dalam menghadapi suatu

masalah.

Ungkapan yang paling tepat untuk watak Nurmadi

adalah ... .

a. tinggi hati

b. lemah hati

c. rendah hati

d. sakit hati

e. murah hati

10.

Pada hari ini, anakku, redaktur tempat ayah

bekerja mengirimkan karangan, sangat baik

hati. Dengan tanda tangannya di secarik kertas,

ayah bisa pergi ke kantor majalah dan meminta

uang honorarium karangan yang berjumlah dua

ratus rupiah. Biarpun nilai sebuah cerita pendek

di masa ayah membikin nasihat ini “Cuma

seharga beras delapan kilo”, namun ayah tetap

gembira. Ayah bawa seorang teman ke sebuah

warung kopi dan kami minum-minum di sana.

(

Nasihat untuk Anakku

, Motinggo Busye)

130

Bahasa dan Sastra Indonesia Kelas XI SMA/MA

Amanat yang tersirat dalam penggalan cerita di

atas adalah ...

a. Jangan ragu-ragu menghadapi kepahitan

hidup.

b. Dalam hidup ini kita harus berusaha, tidak

boleh malas.

c. Jika mendapat rezeki harus segera dihabiskan.

d. Sekecil apapun rezeki yang kita peroleh, kita

harus mensyukuri.

e. Jangan menjadi pengarang sebab honornya

sangat kecil.

II. Kerjakan soal-soal ini dengan tepat!

1. Bacalah sebuah cerpen yang menurutmu sangat

menarik!

2. Buatlah ringkasan cerpen yang kamu baca!

3. Analisislah alur, penokohan, dan latar cerpen

yang kamu baca tersebut!

4. Analisislah nilai moral yang terkandung dalam

cerpen yang kamu baca! Kutiplah kalimat atau

paragraf dalam cerpen yang menunjukkan nilai

tersebut!

5. Analisislah nilai keagamaan yang terkandung

dalam cerpen yang kamu baca! Kutiplah kalimat

atau paragraf dalam cerpen yang menunjukkan

nilai tersebut!