Halaman
117
Bab 10 Cerpen
Paska doc.
Buku kumpuan cerpen
Dilarang Menyanyi
di Kamar Mandi
karya Seno Gumira
Ajidarma,
Filosofi Kopi
karya Dewi Lestari,
dan
Cerita Pendek tentang Cerita Cinta
Pendek
, karya Djenar Maesa Ayu.
Cerpen tidak hanya Anda jumpai di
majalah atau surat kabar. Kini banyak kita
jumpai buku kumpulan cerpen di toko
buku.
Hamka. Selanjutnya cerpen berkembang dengan
pesat dan kini merupakan bentuk prosa yang domi-
nan karena mudah disampaikan melalui surat kabar,
majalah, dan radio. Bahkan ada majalah yang sema-
ta-mata memuat cerpen. Suman H.S. dikenal sebagai
“Bapak Cerpen dan Novelis Indonesia”. Novel per-
tamanya adalah
Kasih Tak Terlerai
(1929).
10.110.1
10.110.1
10.1
Mengidentifikasi Alur
Mengidentifikasi Alur
Mengidentifikasi Alur
Mengidentifikasi Alur
Mengidentifikasi Alur
,,
,,
,
PP
PP
P
enokohan, dan L
enokohan, dan L
enokohan, dan L
enokohan, dan L
enokohan, dan L
ataratar
ataratar
atar
dalam Cerpen
dalam Cerpen
dalam Cerpen
dalam Cerpen
dalam Cerpen
Mengidentifikasi cerpen dapat dilakukan ber-
dasarkan dua unsur, yaitu unsur intrinsik dan unsur
ekstrinsik. Anda tentu sudah sering mempelajari ke-
dua unsur ini. Kedua unsur ini merupakan salah satu
bahan kajian hasil karya sastra. Pada bagian ini Anda
akan mengidentifikasi unsur intrinsik cerpen.
Di bab sepuluh ini, melalui topik “Cerpen”, kalian
akan diajak untuk dapat mengidentifikasi alur
penokohan dan latar dalam cerpen. Selain itu kalian
juga akan diajak untuk dapat menemukan nilai-nilai
dalam cerpen yang dibacakan.
Untuk itu
pertama-tama
kalian diajak untuk dapat
mengidentifikasi alur dalam cerpen yang dibaca, men-
diskusikan penokohan dan latar dalam cerpen, dan
memberikan komentar terhadap isi cerpen berda-
sarkan kelebihan dan kekuranganya isinya.
Kedua
, kalian diajak untuk dapat menemukan
nilai moral yang terkandung dalam cerpen; menemu-
kan nilai keagamaan yang terkandung dalam cerpen.
Selamat belajar dan sukseslah selalu.
Di Indonesia cerpen mulai ditulis sekitar 1930.
Kumpulan cerpen yang pertama adalah
Teman Duduk
karya M. Kasim (1936). Cerpen kemudian dikembangkan
oleh pengarang Pujangga Baru, seperti Armin Pane dan
118
Bahasa dan Sastra Indonesia Kelas XI SMA/MA
10.1.110.1.1
10.1.110.1.1
10.1.1
Membaca Cerpen
Membaca Cerpen
Membaca Cerpen
Membaca Cerpen
Membaca Cerpen
Bacalah cerpen berikut ini dengan lafal dan intonasi yang benar!
Nggak TNggak T
Nggak TNggak T
Nggak T
ahu Malu
ahu Malu
ahu Malu
ahu Malu
ahu Malu
Suatu petang, seorang wanita muda sedang duduk di ruang
tunggu bandara yang tak terlalu ramai. Jenuh menunggu, ia pun
berjalan-jalan, masuk ke sebuah toko buku dan membeli novel,
favoritnya. Sebelum kembali ke tempat duduknya, ia pun me-
nyempatkan membeli sekantung kue. Selang satu kursi di sebelah
kanan tempat duduk wanita itu, duduk seorang pria tua berkaca-
mata dengan tongkat kayu tergenggam erat di tangannya. Setelah
tersenyum basa-basi kepada pria tua itu, ia pun duduk dan langsung
asyik membaca novel yang baru dibelinya. Tanpa menghiraukan
apa pun yang terjadi di sekitarnya, sebagaimana layaknya ke-
banyakan sikap orang metropolitan. Wanita itu terus membaca
dan membaca.
Setelah beberapa menit, ia mulai terganggu ketika pria tua
itu mengambil satu kue dari kantung yang diletakkan di kursi di
antara mereka, lalu memakan kue itu dengan nikmatnya. Mulanya,
wanita itu tak menghiraukannya sambil terus membaca buku dan
mengambil satu kue serta memakannya. Tapi apa yang terjadi?
Pria tua itu pun kemudian mengambil lagi satu kue sambil terse-
nyum lalu memakannya.
Karena tak mau ambil pusing dan membuat keributan, wanita
itu tetap membiarkannya sambil terus membaca, memakan kue,
dan sekali-kali melihat jam yang tergantung di dinding ruang
tunggu. Lagi-lagi, pria tua itu pun mengambil satu kue dan me-
makannya. “Kalau saja aku sedang tak berbaik hati, sudah kupang-
gil polisi bandara yang sedang berjaga itu agar laki-laki tua tak
tahu diri ini ditahan,” gumam wanita itu kesal dan sedikit marah.
Setiap satu kue diambil dan dimakannya, pria tua itu pun
mengambil satu kue dan memakannya hingga tibalah saat ketika
tinggal satu kue tersisa dalam kantung. Wanita itu membiarkannya
karena penasaran dan mencoba ingin tahu apa yang akan dilakukan
pria tua itu. Dengan senyum dan tawa kecil yang agak gugup, pria
tua itu pun mengambil kue terakhir dan memotongnya menjadi
dua lalu memberikan satu bagian kepada wanita itu.
“Nggak tahu malu!” kembali ia mengomel dalam hatinya
dengan raut wajah yang kecut dan agak marah.
Tiba-tiba terdengar pengumuman dari petugas bandara
bahwa pesawat yang akan ditumpangi wanita itu telah datang
dan seluruh penumpang dipersilakan segera menaiki pesawat.
“Kalau saja aku sedang tak berbaik hati,
sudah kupanggil polisi bandara yang
sedang berjaga itu agar laki-laki tua tak
tahu diri ini ditahan,” gumam wanita itu
kesal dan sedikit marah.
1. Cermatilah cerpen
Nggak Tahu
Malu
!
2. Menurut pendapat Anda
kelebihan apakah yang diton-
jolkan dalam cerpen tersebut?
Apakah dari segi unsur peno-
kohan, tema, atau alur?
119
Bab 10 Cerpen
10.1.210.1.2
10.1.210.1.2
10.1.2
AlurAlur
AlurAlur
Alur
, P, P
, P, P
, P
enokohan, dan L
enokohan, dan L
enokohan, dan L
enokohan, dan L
enokohan, dan L
atar Cerpen
atar Cerpen
atar Cerpen
atar Cerpen
atar Cerpen
A. Alur
Berdasarkan hubungan tersebut, setiap cerita mempunyai pola
alur sebagai berikut:
a. perkenalan keadaan;
b. pertikaian/konflik mulai terjadi;
c.
konflik berkembang menjadi semakin rumit;
d. klimaks;
e. peleraian/solusi/penyelesaian.
B. Penokohan
Penokohan atau perwatakan adalah pelukisan tokoh cerita, baik
keadaan lahir maupun batinnya termasuk keyakinannya, pandangan
hidupnya, adat-istiadat, dan sebagainya. Yang diangkat pengarang
dalam karyanya adalah manusia dan kehidupannya. Oleh karena itu,
penokohan merupakan unsur cerita yang sangat penting. Melalui
penokohan, cerita menjadi lebih nyata dalam angan pembaca.
Ada tiga cara yang digunakan pengarang untuk melukiskan watak
tokoh cerita, yaitu dengan cara langsung, tidak langsung, dan kon-
tekstual. Pada pelukisan secara langsung, pengarang langsung
melukiskan keadaan dan sifat si tokoh, misalnya cerewet, nakal, jelek,
baik, atau berkulit hitam. Sebaliknya, pada pelukisan watak secara
tidak langsung, pengarang secara tersamar memberitahukan keadaan
tokoh cerita. Watak tokoh dapat disimpulkan dari pikiran, cakapan,
dan tingkah laku tokoh, bahkan dari penampilannya. Watak tokoh
juga dapat disimpulkan melalui tokoh lain yang menceritakan secara
tidak langsung. Pada Pelukisan kontekstual, watak tokoh dapat
disimpulkan dari bahasa yang digunakan pengarang untuk mengacu
kepada tokoh.
C. Latar
Latar dibedakan menjadi tiga, yaitu latar waktu, latar tempat,
dan latar suasana. Latar waktu adalah waktu (masa) tertentu ketika
peristiwa dalam cerita itu terjadi. Latar tempat adalah lokasi atau
1. Ketika Anda membaca cerita di
atas, bagaimana perasaan Anda
di awal cerita?
2. Ketika Anda membaca cerita di
atas, bagaimana perasaan Anda
di akhir cerita?
3. Siapakah tokoh-tokoh sentral
dalam cerpen tersebut?
4. Apa konflik yang dimunculkan
dalam cerpen tersebut?
5. Pada diri tokoh mana cerita itu
berkembang?
6. Pada paragraf mana gambaran
tokoh lelaki tua digambarkan
kurang baik?
7. Sebutkan latar cerita (tempat,
waktu, dan suasana) cerita pen-
dek tersebut!
8. Tuliskan ide pokok yang terda-
pat dalam cerpen tersebut!
9. Apa komentarmu terhadap pe-
san cerita yang disajikan penulis?
10. Cukup efektifkah cara penyajian
cerita tersebut dalam mengolah
perasaan pembaca?
11. Jelaskan hubungan antara judul
cerpen dan isinya!
12. Logis tidakkah apa yang digam-
barkan dalam cerpen di atas?
13. Tanggapilah cara pembacaan
cerpen teman-teman Anda! Apa
kekurangan dan kelebihannya?
14. Sampaikanlah tanggapan Anda
tersebut di muka kelas!
Wanita itu pun segera mengemasi barang-barangnya tanpa sedikit
pun menghiraukan si pencuri kue itu. Ia bergegas menuju pesawat.
Setelah berada di dalam pesawat, ia pun duduk dengan santai
dan melanjutkan membaca novelnya. Sesaat setelah pesawat lepas
landas, tanpa sengaja ia memegang tas kecil yang dibawanya
dan dengan sangat terkejut mendapati sekantung kue di dalamnya.
Itu adalah kue yang dibelinya di bandara.
“Kalau kueku ada di sini,” dia bergumam dengan napas yang
agak sesak, “berarti kue yang tadi kumakan adalah kue pria tua
itu dan dia berbaik hati berbagi denganku.” Terlambat untuk minta
maaf. “Ah, ternyata sayalah si pencuri kue itu.”
So... hati hati, jangan berprasangka buruk!
Too much suuzon will kill you.
Sumber:
Percikan Iman
No. 2 Th. 2004
120
Bahasa dan Sastra Indonesia Kelas XI SMA/MA
bangunan fisik lain yang menjadi tempat terjadinya peristiwa-pe-
ristiwa dalam cerita. Suasana adalah salah satu unsur intrinsik yang
berkaitan dengan keadaan psikologis yang timbul dengan sendirinya
bersamaan dengan jalan cerita. Suatu cerita menjadi menarik karena
berlangsung dalam suasana tertentu. Misalnya, suasana gembira,
sedih, tegang, penuh semangat, tenang, damai, dan sebagainya.
Suasana dalam cerita biasanya dibangun bersama pelukisan tokoh
utama. Pembaca mengikuti kejadian demi kejadian yang dialami tokoh
utama dan bersama dia pembaca dibawa larut dalam suasana cerita.
10.210.2
10.210.2
10.2
Nilai-nilai dalam Cerpen
Nilai-nilai dalam Cerpen
Nilai-nilai dalam Cerpen
Nilai-nilai dalam Cerpen
Nilai-nilai dalam Cerpen
Penulisnya cerpen tidaklah asal-asalan membuat cerita. Penulis
menuangkan idenya berdasarkan sebuah nilai yang ingin disampaikan
kepada pembacanya, misalnya nilai moral dan nilai keagamaan. Selain
kedua nilai itu, masih banyak nilai lain di masyarakat.
10.2.110.2.1
10.2.110.2.1
10.2.1
Nilai Moral dan Nilai K
Nilai Moral dan Nilai K
Nilai Moral dan Nilai K
Nilai Moral dan Nilai K
Nilai Moral dan Nilai K
eagamaan
eagamaan
eagamaan
eagamaan
eagamaan
Pernahkah Anda membaca novel
Tanah Gersang
? Novel ini
menampilkan tokoh-tokoh anak muda berandalan, khususnya tokoh
Joni. Mereka melakukan tindakan apa saja yang jelas bertentangan
dengan ajaran moral, seperti mempermainkan wanita, termasuk
dengan istri orang, menipu, merampok, dan bahkan membunuh.
Mereka jadi berandalan terutama disebabkan kurangnya perhatian
dan kasih sayang orang tua. Hal inilah yang menjadi nilai moral,
amanat, cerita itu. Hikmah yang diharapkan dapat dipetik dari cerita
itu oleh pembaca, atau amanat yang ingin disampaikan Mochtar Lubis
kepada pembaca, adalah agar kita orang tua senantiasa memper-
hatikan anak, memberikan kasih sayang dan perhatian secukupnya,
tak cukup hanya memberi uang saja dan kemudian bersenang-senang
sendiri. Jika hal tersebut dilalaikan, keadaan seperti yang diceritakan
itulah salah satu bentuk akibatnya.
Pernahkah Anda membaca cerpen karya Navis yang berjudul
Robohnya Surau Kami
? Dalam cerpen ini menceritakan kehidupan
seorang penunggu surau yang hanya beribadah dan melupakan
usuran dunia, yang akhirnya bunuh diri. Dalam cerpen ini, tampaknya
Navis ingin menyampaikan nilai keagamaan, bahwa kehidupan dunia
akherat haruslah sama-sama dijalani secara seimbang. Manusia
memang harus beribadah secara sungguh-sungguh dan selalu ingat
pada Tuhan. Namun selama masih di dunia ia tak akan dapat meng-
hindar dari kebutuhan duniawi.
Nilai moral dan nilai keagamaan tampak kental pada karya-karya
sastra Indonesia. Nilai moral dalam karya sastra biasanya mencer-
minkan pandangan hidup pengarang yang bersangkutan. Tentunya,
pandangan pengarang itu diakui sebagai nilai-nilai kebenaran olehnya
dan ingin disampaikan kepada pembaca melalui karya sastra.
Nilai moral dan nilai keagamaan tidak dapat dipisahkan satu
dengan yang lainnya. Pandangan hidup yang berhubungan dengan
Nilai moral
(nilai etik) adalah nilai
untuk manusia sebagai pribadi yang
utuh, misalnya kejujuran; nilai yang
berhubungan dengan akhlak; nilai
yang berkaitan dengan benar dan
salah yang dianut oleh golongan
atau masyarakat.
Nilai keagamaan
adalah konsep
mengenai penghargaan tinggi yang
diberikan oleh warga masyarakat
pada beberapa masalah pokok dalam
kehidupan keagamaan yang bersifat
suci sehingga menjadikan pedoman
bagi tingkah laku keagamaan warga
masyarakat bersangkutan.
KBBI
, 2001
121
Bab 10 Cerpen
moral itu bersumber dari nilai keagamaan. Seseorang bisa dikatakan
orang bermoral, karena orang itu beragama. Moral lebih dekat hu-
bungannya antara manusia dengan manusia, sedangkan agama
hubungannya antara manusia dengan Tuhan.
10.2.110.2.1
10.2.110.2.1
10.2.1
Menemukan Nilai Moral dan Nilai
Menemukan Nilai Moral dan Nilai
Menemukan Nilai Moral dan Nilai
Menemukan Nilai Moral dan Nilai
Menemukan Nilai Moral dan Nilai
KK
KK
K
eagamaan dalam Cerpen
eagamaan dalam Cerpen
eagamaan dalam Cerpen
eagamaan dalam Cerpen
eagamaan dalam Cerpen
Bacalah cerpen di bawah ini dan temukan nilai moral dan nilai
agama yang terkandung di dalamnya!
Mereka menumpahkan beras bawaannya ke bak
besar di dapur, menyalami Kasmini sambil berkata
seperlunya; lalu pulang kembali.
“Kalau aku mati, mandikan mayatku dengan
tuak,“ kata Sogol sambil mengangkat gelasnya
yang masih penuh.
“Mayatmu bisa jadi tape,“ Dirjo menyahut.
“Manis kan?”
“Dirubung semut, “ Bakron menimpali.
“Hidup dari tuak, mati pun harus dengan tuak.
Kamu harus melaksanakan.” Tuak berwarna putih
keruh itu segera ditenggak oleh Sogol hingga habis.
Gelasnya diberikan pada Dirjo untuk giliran minum
berikutnya. Dari Dirjo gelas lantas dioperkan pada
Bakron, lalu ke Yudi. Demikianlah gelas itu diputar
secara beranting untuk wadah minum tuak hingga
ke Sogol kembali.
“Ada satu lagi amanatku,” Sogol kembali ang-
kat bicara. “Apa tadi?”
“Amanat!”
“Wih, pakai amanat segala. Kayak orang top
saja,” sergah Kamit.
“Ini serius. Di samping memandikan dengan
tuak, saya minta diiringi tabuhan kuda lumping saat
dimandikan dan dibawa ke kubur.”
“Gampang!”
Permintaan Sogol seperti ini sudah sering
diucapkan. Setiap kali minum tuak bersama teman-
temanya, Sogol mengulangi permintaannya. Ham-
pir semua orang dalam lingkaran pergaulannya
telah mengetahui. Sogol dan tuak sepertinya tak
dapat dipisahkan. Lelaki berkulit gelap ini membuka
warung tuak di depan rumahnya. Banyak laki-laki
nongkrong di sini sepanjang hari. Tak heran kalau
anak-anak memanggil Sogol dengan “Pak Tuak”.
ProsesiProsesi
ProsesiProsesi
Prosesi
Mayat itu segera dimandikan dengan tuak.
Sepuluh jerigen tuak ukuran besar sudah berbaris
dekat dipan jerigen. Tabir kain wama hitam telah
mengelilinginya. Sebentar lagi mayat Sogol akan
dibaringkan di sini. Para pelayat, khususnya teman-
teman akrab sang mayat, telah mempersiapkan
segalanya. Mereka mungkin akan menggerojokkan
tuak dari mulut jerigen ke sekujur tubuh mayat secara
bergantian, berjalan dari ujung kepala hingga ujung
kaki. Di langit, matahari mulai agak condong ke barat.
Udara masih terasa panas. Debu-debu berterbangan.
Orang-orang terus mengalir ingin menyaksikan pro-
sesi pemakaman Sogol.
Sementara bunyi tetabuhan kuda lumping terus
bertalu-talu. Bunyinya keras, menghentak-hentak, dan
menggema ke mana-mana. Suasana kematian nyaris
terasa. Anak-anak berlarian mendekat. Mereka
mengelilingi para penabuh hingga membentuk ling-
karan yang makin lama makin memadat. Tetabuhan
ini akan terus mengiringi saat mayat Sogol diman-
dikan, diusung ke kubur, hingga ditanam di liang inilah
prosesi paling ganjil, aneh, sekaligus meriah. Di se-
panjang jalan usungan mayat Sogol akan ditonton
seperti karnaval. Orang-orang akan berdiri di tiap
pagar depan rumah mereka, sedangkan anak-anak
akan mengikuti para penabuh gamelan dari rumah
hingga ke mulut kuburan.
Mayat Sogol terbujur beku bertutupan kain jarit.
Sogol dibaringkan di atas dipan kecil tepat di tengah
ruangan. Beberapa orang terlihat duduk pada gelaran
tikar di sekitarnya. Rumah ini terasa amat sempit
dan mengigit. Sesekali terlihat kepala Kasmini, istri
Sogol, nongol dari pintu tengah dengan mata sembab.
Seperti kadal hendak keluar dari lubangnya, kepala
perempuan itu menoleh ke kiri kanan, melihat mayat
suaminya beberapa saat, kemudian masuk kembali.
Para pelayat perempuan datang dari pintu belakang.
122
Bahasa dan Sastra Indonesia Kelas XI SMA/MA
Sebelum itu, Sogol adalah seorang pemain
kuda lumping keliling. Sudah lama dia ikut kelom-
pok kesenian ini, menjajakan hiburannya dari
kampung ke kampung. Karena merasa pengha-
silannya terus melorot, Sogol akhirnya berhenti.
Dia beralih membuka warung tuak yang dilengkapi
makanan kecil. Sepanjang hari Sogol di warung
ini, berjualan sekaligus ikut menikmati barang
dagangannya. Sementara istrinya menjadi buruh
cuci dan setrika pakaian dari rumah ke rumah.
Perempuan ini pagi-pagi sudah pergi dari rumah,
pulang sebentar pada tengah hari, kemudian
berangkat lagi hingga petang.
Meski hampir seharian Kasmini berada di luar
rumah, Sogol tak pernah keberatan, bahkan
merasa senang karena istrinya mampu memper-
oleh penghasilan. Bagi Sogol, asalkan di rumah
sudah disediakan nasi dan lauk ala kadarnya, dia
sudah bisa hidup hingga sore. Nyaris sepanjang
hari mereka tak saling mengetahui pekerjaan ma-
sing-masing.Dulu ketika awal Sogol membuka
warung tuak, pertengkaran memang kerap terjadi.
Kasmini tak setuju karena orang-orang yang mabuk
selalu membuat ulah. “Pulang saja ke desamu kalau
tak setuju!” kata Sogol. “Aku juga bisa kerja!”jawab
Kasmini.
“Orang mandul kayak kamu mau kerja? Pa-
ling-paling... ?”
“Kamu yang mandul!”
“Kalau aku kawin lagi pasti punya anak.”
Sogol selalu memancing keributan. Lama-
lama Kasmini merasa bosan. Perempuan itu pun
akhirnya tak terlalu ambil peduli. Meladeni Sogol
akan menghabiskan tenaga. Dengan bersikap
seperti itu Kasmini menjadi tenang. Rumah tang-
ganya pun berjalan. Cintanya pada Sogol timbul
tenggelam. Kewajibannya sebagai istri kadang
dilaksanakan dengan senang hati, tapi pada ke-
sempatan lain ada kemalasan merambat.
Kecintaan Sogol pada kuda lumping ternyata
tidak hilang. Hari itu ada sekelompok kesenian yang
dulu diikutinya lewat di depan rumah. Sogol masih
mengenal anggotanya. Dia meminta agar kelompok
itu main di situ. Ternyata mereka setuju. Pertun-
jukan kuda lumping akan segera digelar. Salah se-
orang anggotanya, terutama perempuan, akan
meminta uang kepada para penonton secara ber-
keliling dengan cara menyodorkan topi terbalik
yang sebelumnya terlebih dahulu diletakkan sejum-
lah uang sebagai pancingannya.
Karena merasa sudah lama tak terlibat, tiba-
tiba Sogol memutuskan untuk ikut bermain. Dia
pun segera mengambil kuda dari nyaman bambu
dan menaikinya. Dia masih hafal benar gerakan
dan urutan-urutannya. Dengan diiringi tetabuhan
yang menghentak-hentak, lelaki itu berlenggak-
lenggok di tengah arena. Para penonton pun mulai
berdatangan. Bunyi-bunyian itu telah memang-
gilnya.
“Wah, Sogol ikut main!“ terdengar teriakan
dari gerombolan penonton.
“Terus!”
Ternyata benar. Sogol kesurupan. Dia menjadi
tontonan yang menarik. Matanya tampak merah
dan nyalang. Lidahnya dijulur-julurkan dan mengu-
nyah-ngunyah. Kuda anyaman bambu itu dipegang
kuat-kuat. Dia berputar-putar. Tapi sang pawang
tampaknya punya keinginan lain. Sogol dipegang
keningnya. Kuda tiruan diselakangan Sogol itu
lantas dicabutnya. Sogol oleng beberapa saat. Sang
pawang menegakkannya. Tiba-tiba gerakan Sogol
seperti bermain silat. Kakinya pasang kuda-kuda
dan kedua tangannya merentang ke samping. Lelaki
itu dengan cepat koprol, jungkir balik, lalu berguling
tiga kali di tanah. Sekarang dia bangkit lagi. Pasang
kuda-kuda. Dengan sigap kedua telapak kakinya
menghentak tanah. Sogol pun salto ke udara. Pe-
nonton bersorak.
Ternyata benar. Sogol kesurupan. Dia menjadi
tontonan yang menarik. Matanya tampak merah
dan nyalang.
123
Bab 10 Cerpen
Bunyi tetabuhan tiba-tiba beralih seperti irama
dangdut. Sogol spontan berjoget. Lenggak-lenggok
tubuhnya sangat luwes. Para penonton tertawa.
Tidak seberapa lama Bakron masuk ke arena de-
ngan membawa segelas tuak dan disodorkan ke
Lelaki itu meminumnya dengan cepat. Beberapa
saat setelah itu muncul lagi Dirjo. Kali ini bukan
tuak yang disodorkan, tapi bir. Sogol pun meneng-
gaknya. Belum ada dua menit, ganti Kamit yang
menyodorkan segelas minuman. Kali ini warna
minuman itu agak keungu-unguan. Tubuh Sogol
terlihat makin ringan. Gerakan dan lenggokannya
makin lentur. Arena ini benar-benar milik Sogol.
Para penonton melingkar makin padat. Sogol
terus berjoget mengikuti irama
jula-juli dangdut
.
Topi terbalik tampak dikelilingkan kembali. Para
penonton mengisinya dengan uang recehan secara
sukarela. Sesekali uang logam recehan yang dilem-
par berbenturan hingga salah mental keluar dan
menggelinding di tanah.
“Minum lagi !” Karno menyodorkan tuak kem-
bali. Warna minuman itu sangat Keruh.
Mulut Sogol seperti sumur kehausan. Segala
yang disodorkan ditenggak dengan cepat. Para
peminum yang biasa nongkrong di warung Sogol
kali ini berkumpul. Mereka bergantian masuk arena
untuk menyodorkan tuak dan berbagai minuman
keras pada Sogol. Satu per satu. Entah sudah bera-
pa gelas mengalir ke tenggorokannya.
Beberapa saat setelah pertunjukan usai, Sogol
tak sanggup bangkit. Jadi dia digotong menjauh
dari arena kemudian dibaringkan untuk memulih-
kan kesadarannya. Tapi kondisi Sogol belum juga
pulih setelah beberapa waktu berlalu. Mulut lelaki
itu tampak mengeluarkan busa. Beberapa orang
menggoncang-goncangkan tubuhnya. Usaha itu tak
membawa hasil. Ternyata Sogol sudah kehilangan
nyawanya. Istri laki-laki itu menjerit dan diikuti
tangisan panjang. Orang-orang terhentak. Para te-
tangga berlarian. Berita kematian segera mengalir.
Mereka yang telah meninggalkan tontonan itu kem-
bali berlarian ke rumah Sogol. Para penabuh game-
lan yang mulai berkemas mengurungkan niatnya.
Tak ada yang tahu pasti sebab kematian Sogol.
Ada yang mengatakan bahwa Sogol kecapekan.
Ada pula yang menyatakan bahwa Sogol diambil
oleh roh halus yang menempel saat kesurupan tadi.
Terdengar pula kabar, di antara tuak yang diminum-
kan Sogol tadi ada yang dioplos dengan spiritus.
Yang paling mengejutkan, katanya, ada juga tuak
yang dioplos dengan obat nyamuk oles dan jamur.
Semua ditenggak Sogol. Bekas bungkus obat nya-
muk oles itu memang benar-benar ada, tergeletak
di tempat orang-orang yang menyodorkan tuak dan
berbagai minuman keras tadi. Berita yang terakhir
ini lebih masuk akal, tapi tak ada yang berani me-
mastikan.
“Mayatnya perlu di bawa ke rumah sakit untuk
diotopsi,” kata Pak RT kepada Kasmini.
“Diapakan?”
“Diperiksa.”
“Apa bisa hidup lagi ?” istri Sogol itu melon-
tarkan pertanyaan lagi.
“Ya nggak bisa, tapi biar jelas.”
Kasmini akhirnya memutuskan agar mayat
suaminya tetap di rumah. Dia takut akan dikenakan
berbagai biaya: ambulans, ongkos dokter, obat-
obatan, dan keperluan lainnya. Rumah tangganya
dengan Sogol yang berlangsung lebih dari lima
belas tahun juga tak dikaruniai anak. Jika mayat
suaminya harus dibawa ke rumah sakit, tentu makin
merepotkan dirinya sendiri. Bagi Kasmini ada satu
pemikiran praktis: suaminya tak mungkin hidup lagi
meski dibawa ke rumah sakit. Jadi biarlah mayat
itu di rumah.
Tetabuhan semakin keras. Sudah cukup lama
bunyi, gamelan itu bertalu-talu. Perlengkapan untuk
memandikan mayat sudah lengkap. Kini orang-
orang yang hendak melaksanakan tugasnya sudah
bergerombol dekat tabir.
“Nunggu apa lagi? Ayo dimandikan!” terdengar
teriakan.
“Ayo mulai!”
Empat laki-laki berjalan ke halaman. Mereka
berunding dulu beberapa saat, kemudian segera
masuk ke rumah. Tak lama berselang, mayat Sogol
pun tampak diusung keluar. Tetabuhan makin
menggila. Sepertinya pertunjukan besar segera
dimulai. Pandangan orang-orang tersedot ke arah
mayat. Sedangkan anak-anak berlarian hendak
menyaksikan dari dekat. Usungan itu telah tiba di
tempat pemandian.
Tabir kain warna hitam disingkap. Jenazah pun
masuk dan dibaringkan di dipan kecil ukuran mayat.
“Buka saja tabirnya!”
124
Bahasa dan Sastra Indonesia Kelas XI SMA/MA
Tabir disingkap makin lebar. Mayat Sogol masih
beku tertutup kain jarit. Sepuluh jerigen tuak ditata
memanjang di dekatnya. Orang-orang saling me-
lihat.
“Gimana cara memandikannya?” Kamit mem-
buka.
“Ya langsung di
gerojok
tuak.”
“Dicucurkan sedikit demi sedikit dari mulut
jerigen.”
“Nggak gitu,” Dirjo memotong,
“Tuak dituangkan dulu ke dalam bak, terus
diambil dengan gayung. Disirami kayak nyirami
kembang.”
“Mestinya pakai kain yang dicelupkan ke dalam
tuak. Kain basah itulah yang pakai membersihkan
tubuh Sogol,” Wasis urun rembuk.
“Itu namanya bukan dimandikan, tapi diseka.”
“Itu
ngerepoti.
Buka saja tutup jerigennya.
Satu orang bawa satu jerigen. Kucurkan dari kepala
hingga kaki mayat secara bergantian. Cepat sele-
sai. Setuju?”
Darmaji menawarkan idenya.
“Sepuluh jerigen besar. Tempat ini bisa banjir
tuak.”
“Begini,” seorang lagi maju, “Kita buat dulu
kayak kolam kecil dan diberi Tuak kita tuangkan
semua ke kolam. Baru tubuh Sogol dimasukkan ke
dalamnya beberapa saat.”
“Itu namanya merendam, bukan meman-
dikan.”
“Tuak hanya untuk syarat. Jangan banyak-
banyak,” terdengar lagi usulan dari Munip.
“Oh tidak! Namanya mandi ya pasti banyak,”
Bakron maju.
“Sogol tidak ngomong banyaknya. Yang pen-
ting pesannya sudah kita laksanakan.”
“Tuaknya ada sepuluh jerigen. Harus kita ge-
rojokkan semua. Biar sempurna.” Sukamat maju.
Dia menyibak dan mendekati mayat sambil berkata,
“Satu jerigen cukup. Terus kita bilas dengan air.”
“Tidak usah air. Dia minta dimandikan dengan
tuak. Bukan air.”
“Air itu untuk membilas.”
“Lho?
Lak
percuma kalau gitu. Tuaknya kan
hilang?”
Orang-orang saling melihat.
“Kalau begitu, begini,” Dulatip ambil bagian,
“Tubuh mayat itu kotor. Disiram dulu dengan air,
terus disabun sampai bersih, setelah itu disiram
lagi dengan air. Baru yang terakhir disiram dengan
tuak.”
“Berarti akan kotor lagi?”
“Lengket.”
“Namanya tuak pasti lengket.”
“Tapi itu permintaan Sogol!”
“Terus gimana? Perlu air atau tidak?”
“Tidak!”
“Perlu”
“Yang Pasti?”
“Kalau gitu tolong angkat tangan. Siapa yang
setuju atau tidak. Juga bukan soal suara terbanyak.
Tolong dikembalikan pada pesan Sogol. Dia minta
‘mandikan mayatku dengan tuak’
. Titik.”
“Kalimat persisnya gimana?”
“Saya pernah dengar,” Yudi menjawab cepat,
”dia minta
disucikan dengan tuak
.”
“Tuak tidak bisa dipakai menyucikan,” Pak RT
mengangkat tangannya.
“Bukan soal suci. Dia minta dimandikan dengan
tuak. Kata Dirjo tadi benar,” Bakron kembali bicara.
“Betul, dimandikan!” Sarmidi mengangkat
tangannya.
“Dimandikan!”
“Daripada ramai, lebih baik tak usah diman-
Tabir disingkap makin lebar. Mayat Sogol
masih beku tertutup kain jarit. Sepuluh
jeriden tuak ditata memanjang di dekatnya.
Orang-orang saling melihat.
125
Bab 10 Cerpen
dikan. Langsung dikubur saja.”
“Itu malah salah!” sergah Matali.
Suasana tiba-tiba menegang. Mereka saling
memandang. Kali ini tak ada yang bicara. Semen-
tara bunyi tabuhan terus bertalu-talu. Para pelayat
yang mendekati tempat pemandian makin banyak.
Sebagian anak-anak menerobos ke depan. Tapi
mayat Sogol masih terbujur kaku dalam kain jarit.
Tak bergerak.
“Kalau begitu panggilkan Pak Modin saja. Dia
kan terbiasa ngurusi mayat,” Pak RT memberi sa-
ran.
“Sogol minta yang memandikan kita. Bukan
Pak Modin. Tadi kami sudah ngomong sama Pak
Modin. Dia terus pulang kembali.”
“Saya juga temannya. Jadi boleh dong mem-
beri saran. Kasihan mayatnya udah terlalu lama di
sini.”
“Justru kami ingin melaksanakan amanat
Sogol.”
“Dia sudah mati. Semua tergantung kita.”
“Bukan tergantung kita, tapi tergantung pesan
Sogol,” Sarinidi menuding ke mayat.
“Tidak semua pesan harus dilaksanakan.”
“Justru kami salah kalau tidak melaksanakan
amanatnya. Dia bisa gentayangan mencari-cari
kami.”
“Ayo laksanakan! Buka tuaknya!” suara itu
terdengar makin keras.
“Ayo!”
“Ayo!”
Bunyi tetabuhan juga makin keras menggema.
Sebagian orang dengan cepat bergerak. Terlihat
teman-teman sang mayat sudah menenteng je-
rigen. Satu persatu tutup jerigen itu dibuka. Kini
sepuluh jerigen besar itu sudah siap. Bakron segera
mendekat ke bagian kepala mayat, kemudian
disusul Dirjo, Kamit, Karno, Yudi, Sarmidi, Matali,
dan yang lainnya. Tampak sekali Bakron ingin sege-
ra membuka kain penutup mayat. Para pelayat
lainnya makin mendekat. Mereka membentuk ling-
karan. Sekian banyak kepala berebut untuk dapat
kain penutup kepala.
“Bisa dimulai?” Bakron memegang kain penu-
tup kepala.
“Jangan dulu!”
“Nunggu apa lagi?” Kamit kelihatan tak sabar.
“Ayo buka!”
Dengan tangan agak bergetar Bakron membu-
ka kain penutup. Orang-orang tiba-tiba tak ada
yang bersuara. Kepala mereka terarah ke mayat.
Suasana menjadi hening. Kain itu mulai disingkap
pelan-pelan. Rambut sang mayat mulai tampak,
lalu disusul kening, wajah, serta leher. Bakron
berhenti tepat di bagian dada. Perhatian tersedot
ke arah mayat. Sosok yang sudah tak bernyawa
itu tampak pucat, beku, dan kosong.
“Gimana?” nada Bakron menurun.
“Buka terus.”
“Ya, buka.”
Bakron melanjutkan membuka. Kain itu terus
dilorot ke bagian bawah. Tubuh mayat semakin
jelas. Kedua tangannya bersedekap di atas perut.
Ketika sampai di bawah pusar, tangan Bakron dihen-
tikan oleh Dirjo. Mereka saling memandang. Dirjo
memegangi kain singkapan itu. Bagian kaki kemu-
dian disingkap ke atas. Kain itu dihentikan dan
mengumpul di bawah pusar. Wajah dan tubuh
mayat tampak sempurna.
“Sudah, disiram?”
“Ya .”
“Ay o .”
“Siram.”
Mereka segera mengangkat jerigen itu ke
pundak. Penutup jerigen itu sudah membuka. Bau
kecut tuak melintas-lintas. Mereka akan menyiram-
kan ke sekujur tubuh mayat dari kepala hingga ke
kaki. Bakron berada pada giliran pertama. Dia men-
dekat ke kepala mayat. Jerigen di pundak ditu-
runkan dan siap digerojokkan ke kepala mayat. Dia
berhenti beberapa saat. Memandang ke kanan kiri.
Tak ada yang bersuara. Hening.
“Sudah?”
“Ayo, siram!” terdengar suara tak sabar.
“Ayo!”
“Ayo!”
Para pelayat mendekat. Merangsek maju.
Semua kepala berebut nongol. Bakron mengatur
posisinya. Jerigen sudah dalam posisi agak mir-
ing. Isinya sudah kelihatan bergerak-gerak. Tuak
sebentar lagi mengucur dari mulut jerigen. Tumpah
ke wajah mayat.
“Satu, dua, ....”
126
Bahasa dan Sastra Indonesia Kelas XI SMA/MA
Diskusikan soal-soal berikut ini
dalam kelompok!
1. Analisislah tokoh dan peno-
kohan cerpen
Prosesi!
2. Analisislah alur yang digunakan
dalam cerpen
Prosesi!
3. Analisislah latar yang ada dalam
cerpan
Prosesi!
4. Analisislah nilai moral yang ter-
kandung dalam cerpen
Prosesi!
Kutiplah kalimat atau paragraf
dalam cerpen yang menunjuk-
kan nilai tersebut!
5. Analisislah nilai keagamaan yang
terkandung dalam cerpen
Prosesi!
Kutiplah kalimat atau
paragraf dalam cerpen yang me-
nunjukkan nilai tersebut!
6. Menurut Anda nilai apakah yang
paling menonjol pada cerpen
Prosesi?
Jelaskan!
7. Apakah Anda menemukan nilai
budaya pada cerpen
Prosesi?
Jelaskan!
8. Apakah Anda menemukan nilai
sosial pada cerpen
Prosesi?
Jelaskan!
Setiap kelompok mengemuka-
kan hasil diskusinya di depan
kelas! Kelompok lain memberi-
kan tanggapan dan saran
Tiba-tiba terdengar suara keras.
“Hentikan!”
Para pelayat terjingkat, Pandangan mereka spontan tertuju
ke arah datangnya suara itu, Mereka menyibak. Ternyata yang
datang adalah Kasmini. Istri Sogol itu tiba dan berhenti di dekat
mayat suaminya. Bibir Kasmini bergetar. Matanya merah dan
mengeluarkan air. Dada perempuan itu tampak bergoncang-
goncang. Nafasnya sangat kerap. Dipandangi sekujur tubuh mayat
suaminya. Mulut Kasmini menggumamkan sesuatu, tapi tak jelas
terdengar.
Beberapa saat setelah itu Kasmini mendekat ke Bakron. Dia
meminta agar tuak diturunkan ke tanah. Lelaki itu menurut. Kasmini
pun meminta kepada pembawa tuak yang lain. Mereka segera
menurunkan tuak yang dipanggulnya ke tanah. Perempuan itu,
dengan tangan gemetar, menidurkan jerigen sehingga tuak
mengalir ke tanah. Para pelayat terdiam. Sebagian mereka meng-
geser kakinya karena ada tuak mengalir. Kasmini kemudian berganti
ke jerigen kedua. Tanpa menunggu isinya habis, jerigen ketiga,
keempat, kelima, dan seterusnya ditidurkan ke tanah. Tuak dalam
jerigen itu mengalir barsama-sama ke tanah. Lingkaran para pe-
layat serentak membesar. Mereka minggir. Cairan tuak melebar
ke bawah dipan dan sekitarnya. Sementara itu bunyi tetabuhan
juga berhenti.
“Saya ini istri almarhum Kang Sogol. Sayalah yang berhak
menentukan. Saya minta jenazah suami saya diperlakukan seperti
wajarnya. Maafkan suami saya. Saya minta Pak Modin.... Pak Modin
....,” suara perempuan itu makin bergetar. Dia tak sanggup
meneruskan kata-katanya. Tangannya ditutupkan ke wajah. Tu-
buhnya agak oleng. Pak RT segera memegangi kedua pundak
Kasmini. Perempuan itu sesenggukan. Sedangkan Pak Modin
ternyata sudah berdiri di belakangnya.
Para pelayat terdiam. Mereka bersedekap. Ada rasa haru
melintas pada wajah mereka. Di tengah-tengah, tubuh Sogol mem-
bujur kaku. Sebagai orang yang bertugas mengurusi jenazah di
desa ini, Pak Modin tahu dan mengerti apa yang diminta oleh
Kasmini.
Cuaca meredup. Terlihat awan putih bergerak lamban di langit.
Esok dan seterusnya, Sogol tak akan kembali. Para pelayat
mengantarkannya ke kuburan. Di sepanjang jalan, orang-orang
yang berdiri di depan rumah melihat usungan itu dengan haru.
Usungan terus menjauh dan menjauh. Menuju ke pekuburan. Debu-
debu yang tersaruk kaki para pelayat masih mengapung-apung di
sepanjang jalan yang habis dilalui, menempel di pagar-pagar dan
daun-daun. Sementara, matahari mulai lingsir, pertanda hari
segera berakhir.
M. Shoim Anwar, Guru SMA Alhikmah, Jalan Kebonsari
Elveka V Surabaya, Jawa Timur
127
Bab 10 Cerpen
Di Indonesia cerpen mulai ditulis sekitar 1930.
Kumpulan cerpen pertama adalah
Teman Duduk
karya
M. Kasim (1936). Cerpen kemudian dikembangkan
oleh pengarang Pujangga Baru, seperti Armin Pane
dan Hamka. Selanjutnya cerpen berkembang dengan
pesat. Bahkan kini merupakan bentuk prosa yang
dominan karena mudah disampaikan melalui surat
kabar, majalah, dan radio. Suman H.S. dikenal
sebagai “Bapak Cerpen dan Novelis Indonesia”. Novel
pertamanya adalah
Kasih Tak Terlerai
(1929).
Mengidentifikasi cerpen dapat dilakukan
berdasarkan dua unsur, yaitu unsur intrinsik dan unsur
ekstrinsik.
Setiap cerita mempunyai pola alur sebagai berikut
perkenalan keadaan, pertikaian atau konflik terjadi,
konflik berkembang menjadi semakin rumit, klimaks,
peleraian/solusi/penyelesaian.
Penokohan atau perwatakan adalah pelukisan
tokoh cerita, baik keadaan lahir maupun batin,
termasuk keyakinan, pandangan hidup, adat-
istiadatnya, dan sebagainya.
Ada tiga cara untuk melukiskan watak tokoh
cerita, yaitu dengan cara langsung, tidak langsung,
dan kontekstual.
Ada tiga jenis latar, yaitu latar waktu, latar tempat,
dan latar suasana. Latar waktu adalah waktu tertentu
ketika peristiwa dalam cerita itu terjadi. Latar tempat
adalah lokasi atau bangunan fisik lain yang menjadi
tempat terjadinya peristiwa dalam cerita. Latar
suasana adalah salah satu unsur intrinsik yang
berkaitan dengan keadaan psikologis yang timbul
dengan sendirinya bersamaan dengan jalan cerita.
Suasana dalam cerita biasanya dibangun bersama
pelukisan tokoh utama.
Penulis cerpen dalam menuangkan idenya
berdasarkan nilai tertentu yang ingin disampaikannya
kepada pembaca. Nilai moral dan keagamaan tampak
kental pada karya-karya sastra Indonesia. Nilai moral
dalam karya sastra biasanya mencerminkan
pandangan hidup pengarangnya. Nilai moral dan nilai
keagamaan tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Pandangan hidup yang berhubungan dengan moral
itu bersumber dari nilai keagamaan. Moral lebih
berkaitan dengan manusia, sedangkan agama lebih
dalam hubungannya dengan Tuhan.
128
Bahasa dan Sastra Indonesia Kelas XI SMA/MA
I.
Pilihlah salah satu jawaban yang paling
tepat!
1.
Roda-roda bus bergelutuk ketika berhenti di
tikungan, dan Grela merasakan berat kepala
wanita tua di sampingnya terjatuh di pundaknya.
Di luar sangat gelap. Orang hanya dapat menge-
nali bayang-bayang daerah yang dilewati:
pepohonan, semak-semak, dan rumah-rumah
kumuh di pinggiran kota. Belum begitu terlambat
meskipun hujan akan turun sepanjang hari,
lampu-lampu pagi diganti oleh lapisan awan.
Unsur intrinsik yang menonjol pada kutipan di
atas adalah ... .
a. penokohan
b. alur
c. tema
d.
setting
e. amanat
2.
Nenek mengeluh, “Aku tahu tidak baik memi-
kirkan kematian jika memiliki yang hidup.”
Pesan yang terkandung dalam pernyataan di atas
adalah ... .
a. jangan mengingat lagi orang yang sudah mati
b. mengenang kembali orang mati tidak ada
gunanya
c. perhatian terhadap yang hidup harus men-
dapat prioritas bila dibandingkan dengan
orang yang sudah mati
d. memikirkan kematian hanya akan menam-
bah kesedihan
e. pada saatnya semua orang akan meninggal
3.
“Ya,” kata Grela, “orang Gipsy hanya bagian
dari sejarah.”
Dalam pandangan ayahnya yang untuk sesaat
semakin kelam, Grela memalingkan mukanya dan
memandang ke luar jendela. Gelap menjadi se-
makin pekat. Ada kesepakatan untuk tidak boleh
membicarakan hal-hal yang hilang: sejarah yang
mengalir dalam darah, sungai, tanah subur di tepi
sungai, rumput, daun-daun birke yang gugur.
Orang tidak juga berbicara tentang pengetahuan...
Perasaan Grela yang terkandung dalam cuplikan
cerpen di atas ialah ... .
a. sedih dan tertekan
b. pasrah dan penuh harapan
c. putus asa dan dendam
d. cemas dan dendam
e. marah dan benci
4.
“Kabar baik, Pak, kabar baik. Mereka berdua
wajahnya cerah-cerah. Menteri itu banyak duit,
alamat saya kebagian rezeki. Oo, jadi Pak Pong
ini kakak misan Pak Jenderal, ya? Betul mirip
memang dan selalu bangga pada keluarganya.
Dalam pidato-pidatonya selalu disebut-sebutnya:
anak desa, penderitaan rakyat, dan perjuangan
melawan Belanda,” kata penjaga itu mencoba
mengingat-ingat kembali apa yang pernah di-
ucapkan oleh jenderalnya, kepada tamunya.
“Ya, betul. Rumah kami pernah menjadi mar-
kas, waktu zaman gerilya. Masih lama ya, Pak
Menteri?” katanya tak sabar lagi.
“Tidak asal Pak Jenderal sudah mau teken,
biasanya urusannya selesai. Minumnya ditambah
lagi ya, Pak?”
Dia menggeleng lesu, dalam hatinya dium-
patnya Menteri dan tamu-tamu yang antre di situ,
merebut waktu adiknya.
Nilai budaya yang tersirat pada penggalan cerpen
di atas adalah ...
a. Mengunjungi pejabat di tempat kerjanya ti-
daklah mudah karena harus mengikuti aturan
protokoler yang telah ditentukan.
b. Pak Pong mengalami kesulitan untuk menemui
adik misannya yang jenderal itu di kantor.
c. Pak Penjaga melihat wajah Pak Jenderal mirip
dengan Pak Pong. Oleh karena itu kini ia yakin
bahwa Pak Pong adalah saudara Pak Jenderal.
d. Jika Pak Jenderal mau menandatangani yang
disodorkan oleh Menteri maka urusan pun
selesailah.
e. Pak pong merasa kesal terhadap Menteri dan
tamu-tamu yang antre menyita waktu adiknya.
129
Bab 10 Cerpen
5.
Ia berdoa memohon petunjuk Tuhan, tiba-
tiba ia mendapatkan jalan. Dilepaskannya sepatu
dan diisi air. Karena kedua tangannya harus
menekan dinding perigi agar dapat memanjat
sepatu yang berisi air itu digigitnya. Orang itu
selamat sampai di atas. Air itu segera
diberikannya kepada anjing yang kehausan itu.
Anjing minum sepuas-puasnya. Kedua makhluk
itu selamat.
Setelah membaca paragraf di atas, kita mem-
peroleh nilai sastra yang disebut ... .
a. nilai sosial
b. nilai moral
c. nilai agama
d. nilai budaya
e. nilai estetika
6.
Aku lari kembali dari rumah yang sedang
di-liputi bahagia itu. Tiba di hotel aku menangis,
ya menangis aku .... Keadaan keuangan tak
meng-izinkan lagi untuk tinggal di hotel lama-
lama. Aku pergi tinggal di sebuah rumah di
sebuah gang kecil. Yang menjadi hiburan bagiku
tinggal hanya buku-buku lagi. Aku selalu mencari,
mencari jiwaku dapat bergantung. Sekian lama
aku men-cari, tetapi sia-sia belaka.
Unsur intrinsik yang paling dominan dari peng-
galan cerpen di atas adalah ... .
a. tema
b. alur
c. penokohan
d. konflik
e. sudut pandang
7.
Kembali ke La Barka, di mana segalanya lepas
dan lapang, aku bersenang hati dapat menarik
napas lega. Tujuh hari menjadi orang ketiga bagi
sepasang manusia yang hidup saling menyelidik
dan mencari kebenaran atau kepalsuan masing-
masing, amatlah melelahkan. Tetapi aku tidak
menyesal. Setidak-tidaknya kini aku dapat menge-
tahui dasar sifat kedua orang yang baru kukenal
itu. Siapakah yang salah? Aku tidak berhak
menya-lahkan satu pihak saja. Dalam perkawinan
sering ada salah timbang. Tergantung bagaimana
suami-istri yang bersangkutan memperlakukan
serta menanggapi kekurangan tersebut.
Tokoh aku dalam penggalan novel di atas adalah
a. egois, pemarah
b. pemalu, berjiwa besar
c. bijaksana, berjiwa besar
d. penyabar, pendiam
e. pemberani, egois
8.
“Itulah manusia yang lidahnya berlawanan
dengan hatinya. Orang-orang macam itu banyak
kita jumpai di dunia. Mereka paling suka
menimbulkan bencana bagi sesamanya. Tanpa
menoleh-noleh makhluk manusia yang berbentuk
tiang itu dengan begitu sengsaranya di depan
mereka.
Nilai moral yang terkandung dalam penggalan
cerpen di atas adalah ... .
a. isi hati manusia tak dapat diterka
b. manusia jangan bersifat munafik
c. jangan menimbulkan bencana bagi sesama
d. kita harus taat pada ajaran agama
e. orang munafik banyak terdapat di sekeliling kita
9.
Nurmadi merasa istrinya mulai bertindak
semaunya. Hal ini karena ia selalu merasa ragu-
ragu dalam bertindak. Ia tidak mempunyai pendirian
dan sikap yang tegas dalam menghadapi suatu
masalah.
Ungkapan yang paling tepat untuk watak Nurmadi
adalah ... .
a. tinggi hati
b. lemah hati
c. rendah hati
d. sakit hati
e. murah hati
10.
Pada hari ini, anakku, redaktur tempat ayah
bekerja mengirimkan karangan, sangat baik
hati. Dengan tanda tangannya di secarik kertas,
ayah bisa pergi ke kantor majalah dan meminta
uang honorarium karangan yang berjumlah dua
ratus rupiah. Biarpun nilai sebuah cerita pendek
di masa ayah membikin nasihat ini “Cuma
seharga beras delapan kilo”, namun ayah tetap
gembira. Ayah bawa seorang teman ke sebuah
warung kopi dan kami minum-minum di sana.
(
Nasihat untuk Anakku
, Motinggo Busye)
130
Bahasa dan Sastra Indonesia Kelas XI SMA/MA
Amanat yang tersirat dalam penggalan cerita di
atas adalah ...
a. Jangan ragu-ragu menghadapi kepahitan
hidup.
b. Dalam hidup ini kita harus berusaha, tidak
boleh malas.
c. Jika mendapat rezeki harus segera dihabiskan.
d. Sekecil apapun rezeki yang kita peroleh, kita
harus mensyukuri.
e. Jangan menjadi pengarang sebab honornya
sangat kecil.
II. Kerjakan soal-soal ini dengan tepat!
1. Bacalah sebuah cerpen yang menurutmu sangat
menarik!
2. Buatlah ringkasan cerpen yang kamu baca!
3. Analisislah alur, penokohan, dan latar cerpen
yang kamu baca tersebut!
4. Analisislah nilai moral yang terkandung dalam
cerpen yang kamu baca! Kutiplah kalimat atau
paragraf dalam cerpen yang menunjukkan nilai
tersebut!
5. Analisislah nilai keagamaan yang terkandung
dalam cerpen yang kamu baca! Kutiplah kalimat
atau paragraf dalam cerpen yang menunjukkan
nilai tersebut!